78dd2d628eddbef1228373b168c7be34.jpeg

November 4, 2025 Article

PENYAKIT Jantung dan Pembuluh Darah merupakan salah satu penyebab kematian terbanyak di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa penyakit kardiovaskular, yang di dalamnya termasuk penyakit jantung koroner, bertanggung jawab atas hampir sepertiga dari semua kematian global. Di Indonesia, data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan tren yang serupa, dengan penyakit jantung menjadi penyebab utama kematian. Kondisi ini tidak hanya berdampak pada kesehatan individu tetapi juga menimbulkan beban ekonomi yang besar bagi masyarakat dan sistem kesehatan. Oleh karena itu, memahami dan mengelola faktor risiko penyakit jantung adalah kunci dalam upaya pencegahan dan pengurangan angka kematian.

Selain faktor risiko klasik seperti hipertensi, diabetes, obesitas, dan merokok, penelitian terkini telah mengungkapkan keberadaan faktor risiko novel yang juga memainkan peran penting dalam pengembangan penyakit jantung koroner. Faktor-faktor ini mencakup aspek genetik, pola tidur yang buruk, polusi udara, dan bahkan status sosioekonomi yang rendah, yang semuanya berkontribusi terhadap risiko individu. Faktor risiko ini menambah kompleksitas dalam pendekatan pencegahan dan terapi penyakit jantung, menuntut strategi yang lebih holistik dan personal dalam penanganannya.

 

Dalam konteks ini, peradangan kronis muncul sebagai faktor risiko penting yang seringkali kurang diperhatikan. Peradangan merupakan respons alami tubuh terhadap infeksi atau cedera. Namun, ketika peradangan menjadi kronis, kondisi ini dapat memicu berbagai masalah kesehatan serius, termasuk penyakit jantung dan pembuluh darah. Oleh karena itu, pemahaman mendalam tentang hubungan antara peradangan kronis dan penyakit jantung sangat penting. Artikel ini akan menjelaskan bagaimana peradangan kronis dapat mempengaruhi kesehatan jantung dan langkah-langkah yang dapat Anda ambil untuk mengurangi risiko tersebut, dengan tujuan memberikan wawasan baru dan membantu pembaca dalam mengelola kesehatan jantung mereka dengan lebih efektif.

 

Apa itu Peradangan?

Peradangan merupakan mekanisme pertahanan tubuh yang vital, di mana sistem imun beraksi untuk melindungi tubuh dari serangan luar seperti infeksi, iritasi, atau cedera. Saat terjadi ancaman, sistem imun melepaskan sel-sel pertahanan dan zat kimia yang bertujuan untuk mengisolasi dan menghancurkan penyebab gangguan tersebut. Dalam kondisi ideal, ini terjadi dalam bentuk peradangan akut, di mana proses inflamasi berlangsung cepat dan hanya bertahan selama beberapa hari, cukup untuk memulihkan keseimbangan dan memperbaiki jaringan yang rusak.

 

Namun, ketika peradangan berlanjut dan menjadi kronis, dinamika perannya berubah secara signifikan. Peradangan kronis adalah kondisi di mana respons inflamasi ini berlangsung terus-menerus, sering kali tanpa pemicu yang jelas atau berkepanjangan seperti pada infeksi kronis, paparan bahan iritasi terus menerus, atau karena autoimunitas, di mana tubuh secara keliru menyerang jaringan sehatnya sendiri. Dalam jangka panjang, peradangan kronis bisa menyebabkan berbagai jenis kerusakan jaringan, dan ironisnya, menjadi penyebab dari berbagai kondisi kesehatan kronis termasuk penyakit jantung, diabetes, dan arthritis.

 

Mengenal dan memahami perbedaan antara peradangan akut dan kronis adalah kunci dalam mengidentifikasi dan mengelola berbagai kondisi kesehatan yang dapat dipengaruhi oleh peradangan. Dengan pengetahuan yang cukup, individu dapat mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mengurangi faktor risiko peradangan kronis dan menjaga kesehatan jangka panjang mereka.

 

Peran Peradangan Kronis dalam Pengembangan Penyakit Jantung & Pembuluh Darah

Penelitian yang berkembang telah memperlihatkan adanya keterkaitan yang kuat antara peradangan kronis dan risiko penyakit jantung, khususnya aterosklerosis, suatu kondisi di mana terjadi pembentukan plak pada dinding arteri yang mengarah pada penyempitan dan pengerasan pembuluh darah. Studi oleh Ridker dan koleganya merupakan salah satu yang paling berpengaruh, menunjukkan bahwa tingkat tinggi protein C-reaktif (CRP), sebuah penanda peradangan, dikaitkan dengan peningkatan risiko serangan jantung dan stroke. Temuan ini menegaskan bahwa peradangan bukan hanya merupakan konsekuensi dari aterosklerosis tetapi juga mungkin memainkan peran kausal dalam pengembangan penyakit.

 

CRP diakui sebagai prediktor kardiovaskular yang kuat, sebanding dengan faktor risiko klasik seperti merokok dan hipertensi. Mekanisme di balik ini terkait dengan kemampuan peradangan untuk merusak lapisan dalam arteri, atau endotel, yang memudahkan akumulasi plak. Penelitian lebih lanjut oleh Libby dan koleganya telah mengungkapkan bahwa sel-sel imun seperti makrofag dan limfosit berperan aktif dalam proses pembentukan plak, tidak hanya melalui penyerapan kolesterol tetapi juga melalui produksi zat yang memecah plak, menjadikannya lebih rentan terhadap rupture yang bisa memicu serangan jantung atau stroke.

 

Selain mempengaruhi pembentukan plak, peradangan juga meningkatkan risiko trombosis, atau pembekuan darah, seperti yang ditunjukkan oleh Hansson dan timnya. Proses inflamasi memicu produksi faktor-faktor yang meningkatkan kecenderungan darah untuk membeku, sebuah proses kunci dalam terjadinya serangan jantung dan stroke ketika bekuan darah menyumbat arteri.

 

Pemahaman ini memiliki implikasi penting dalam pengembangan strategi pencegahan dan pengobatan penyakit jantung. Manajemen peradangan melalui penggunaan obat-obatan seperti statin, yang juga memiliki efek anti-inflamasi, serta melalui pengadopsian gaya hidup sehat dan pengendalian faktor risiko kardiovaskular lainnya, dapat signifikan mengurangi risiko penyakit jantung.

 

Mengenal Faktor Risiko Peradangan Kronis

Peradangan kronis, yang berlangsung lama dan seringkali tanpa gejala yang jelas, dapat menjadi penyebab utama dari berbagai kondisi kesehatan serius, termasuk penyakit jantung. Ada beberapa faktor risiko yang diketahui memicu atau memperburuk peradangan kronis. Mengenali dan mengelola faktor-faktor ini dapat membantu mengurangi risiko peradangan dan menjaga kesehatan jangka panjang.

 

1.\tKebiasaan Merokok: Merokok telah lama diketahui sebagai faktor risiko utama untuk berbagai kondisi kesehatan, termasuk peradangan kronis. Asap rokok mengandung ribuan bahan kimia beracun yang bisa merusak sel dan jaringan, memicu peradangan di seluruh tubuh. Ini juga merusak lapisan pembuluh darah, meningkatkan risiko pembentukan plak aterosklerosis yang dapat menyebabkan penyakit jantung.

2.\tObesitas: Lemak tubuh, terutama yang terakumulasi di sekitar perut (lemak visceral), tidak hanya menyimpan energi tetapi juga berfungsi sebagai organ endokrin yang aktif, melepaskan hormon dan zat pro-inflamasi yang dikenal sebagai adipokin. Adipokin ini dapat memicu peradangan sistemik, yang jika berlangsung lama akan mengganggu fungsi normal organ dan jaringan, termasuk pembuluh darah.

3.\tDiet Buruk: Pola makan yang tinggi lemak jenuh, gula, dan kalori berlebih dapat meningkatkan peradangan. Makanan seperti makanan cepat saji, daging olahan, dan makanan manis tidak hanya menyebabkan peningkatan berat badan tetapi juga memicu respon inflamasi dalam tubuh. Sebaliknya, diet yang kaya akan buah-buahan, sayuran, dan lemak sehat seperti yang ditemukan dalam ikan dan minyak zaitun, dapat membantu mengurangi peradangan.

4.\tKurang Aktivitas Fisik: Aktivitas fisik rutin adalah salah satu cara paling efektif untuk mengurangi peradangan. Olahraga membantu mengurangi lemak tubuh, meningkatkan sirkulasi darah, dan memicu pelepasan zat-zat yang memiliki efek anti-inflamasi. Orang yang jarang beraktivitas fisik cenderung memiliki tingkat peradangan yang lebih tinggi, yang dapat meningkatkan risiko berbagai penyakit kronis.

5.\tStres Kronis: Stres yang berkepanjangan dapat mempengaruhi sistem imun dengan memicu pelepasan hormon stres seperti kortisol, yang pada gilirannya dapat meningkatkan peradangan. Stres kronis juga bisa menyebabkan perilaku tidak sehat seperti makan berlebihan, merokok, atau mengabaikan kegiatan fisik, yang semuanya dapat berkontribusi pada peradangan kronis.

6.\tPenyakit Autoimun: Dalam kondisi autoimun, sistem imun tubuh, yang seharusnya melindungi tubuh dari penyakit dan infeksi, malah salah mengenali jaringan tubuh sendiri sebagai benda asing dan menyerangnya. Ini menyebabkan peradangan yang berkelanjutan. Contoh dari penyakit autoimun termasuk rheumatoid arthritis, di mana peradangan terjadi pada sendi, menyebabkan rasa sakit dan pembengkakan yang signifikan; serta lupus, yang dapat mempengaruhi kulit, sendi, dan organ internal.

7.\tInfeksi Kronis: Infeksi yang berkepanjangan atau tidak diobati dengan baik dapat menyebabkan peradangan kronis yang berdampak negatif pada kesehatan secara umum, termasuk meningkatkan risiko penyakit jantung. Di Indonesia, beberapa infeksi kronis yang sering dijumpai dan tidak terobati secara optimal mencakup:

  • Tuberkulosis (TBC): Indonesia merupakan salah satu negara dengan beban TBC tinggi. TBC adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis, yang biasanya menyerang paru-paru tapi juga bisa mempengaruhi bagian tubuh lain. Infeksi kronis ini menyebabkan respons inflamasi yang kuat dan berkepanjangan, yang jika tidak diobati dengan baik dapat menjadi kronis dan menyebabkan kerusakan jaringan yang luas.
  • Infeksi Helicobacter Pylori: H. pylori adalah bakteri yang dapat menginfeksi lapisan lambung dan menyebabkan ulkus peptikum dan gastritis kronis. Jangka panjang, infeksi ini bisa memicu peradangan kronis di lambung, meningkatkan risiko penyakit gastrointestinal lanjutan, termasuk kanker lambung.
  • Penyakit Periodontal: Infeksi kronis pada gusi dan jaringan pendukung gigi ini sangat umum dan seringkali tidak terdeteksi hingga menyebabkan kerusakan signifikan. Bakteri penyebab penyakit periodontal tidak hanya menyebabkan peradangan dan kerusakan pada jaringan mulut, tetapi juga bisa masuk ke dalam aliran darah, memicu peradangan lebih lanjut yang bisa berdampak pada pembuluh darah dan jantung.

Gejala Peradangan Kronis

Peradangan kronis dapat menjadi senyap dan terselubung, seringkali tanpa menimbulkan gejala yang spesifik sampai kondisi tersebut telah berkembang menjadi penyakit serius. Karena peradangan kronis berpotensi mempengaruhi berbagai sistem dalam tubuh, gejalanya pun bisa sangat beragam dan kadang-kadang menyerupai kondisi kesehatan lain, membuat diagnosis menjadi lebih sulit. Namun, beberapa gejala umum yang mungkin dialami termasuk:

1.\tKelelahan yang tidak dapat dijelaskan: Salah satu gejala paling umum dari peradangan kronis adalah rasa lelah yang terus menerus, yang tidak hilang meskipun sudah cukup istirahat. Kelelahan ini bisa begitu parah sehingga mempengaruhi aktivitas sehari-hari dan kualitas hidup.

2.\tNyeri otot dan sendi: Nyeri yang persisten atau berulang di otot dan sendi, tanpa disertai cedera yang jelas, juga bisa merupakan tanda peradangan kronis. Nyeri ini mungkin mereda dan muncul kembali, dan sering kali dirasakan sebagai pegal atau kaku yang tak kunjung hilang.

3.\tSakit kepala dan kekakuan leher: Peradangan yang terjadi di dalam tubuh bisa memicu sakit kepala atau migrain yang frekuen dan kekakuan leher. Gejala-gejala ini sering kali disalahartikan sebagai masalah yang lebih ringan atau stres.

4.\tGangguan pencernaan: Gejala seperti nyeri perut, kembung, diare, atau konstipasi bisa muncul jika peradangan mempengaruhi sistem pencernaan. Dalam jangka panjang, hal ini dapat berkembang menjadi kondisi lebih serius seperti penyakit inflamasi usus.

5.\tPerubahan mood dan kognitif: Peradangan kronis juga bisa mempengaruhi fungsi otak, menyebabkan perubahan mood, kecemasan, depresi, atau kesulitan konsentrasi. Perubahan ini terkadang sangat halus dan bertahap, sehingga sulit untuk dikaitkan langsung dengan peradangan.

 

Pentingnya Pemeriksaan Laboratorium dalam Diagnosis Peradangan Kronis

Untuk mendeteksi peradangan kronis, dokter seringkali merekomendasikan pemeriksaan darah yang dapat mengukur biomarker peradangan seperti protein C-reaktif (CRP), yang meningkat ketika ada peradangan aktif dalam tubuh. Tes lain yang mungkin dilakukan adalah pengukuran kadar sedimentasi eritrosit (ESR), yang juga menunjukkan tingkat peradangan, serta pemeriksaan kadar sel darah putih, yang bisa meningkat sebagai respons terhadap peradangan kronis.

 

Bagaimana Kita Bisa Mengatasi Peradangan Kronis?

Penyakit jantung tidak hanya dipicu oleh faktor risiko klasik seperti kolesterol tinggi, gula darah yang tinggi atau hipertensi, tetapi juga oleh peradangan kronis yang sering terabaikan. Oleh karena itu, untuk mengatasi penyakit jantung melibatkan penanganan holistik yang bertujuan untuk mengidentifikasi faktor risiko novel yang mendasari seperti peradangan. Upaya untuk mengatasi peradangan kronis dimulai dengan evaluasi menyeluruh terhadap setiap pasien, mencakup pemeriksaan medis yang mendalam dan analisis faktor risiko individu. Apakah mungkin ada obesitas dan gaya hidup sedentari yang perlu diubah? Apakah mungkin ada infeksi kronis seperti TBC atau gejala gastritis yang mungkin disebabkan oleh infeksi H. Pylori?, Apakah mungkin ada kelainan di bidang gigi dan mulut yang bisa menyebabkan infeksi kronis? Jika memang ada, penyebab spesifik yang menyebabkan peradangan harus diatasi 1, sehingga tidak menjadi sesuatu yang memperberat penyakit jantung yang dimiliki dikemudian hari. Hal ini tidak hanya akan membantu mengurangi keluhan non spesifik diluar jantung, tapi juga akan secara signifikan mengurangi beban penyakit kardiovaskular.

 

Perubahan gaya hidup sebagai bagian dari strategi untuk mengurangi peradangan juga diperlukan. Diet seimbang yang kaya akan antioksidan dan nutrisi anti-inflamasi, peningkatan aktivitas fisik, dan upaya untuk mengatasi stres adalah beberapa komponen yang di sarankan untuk mendukung upaya mengurangi peradangan dan mempromosikan kesehatan jantung yang optimal. Pendekatan terpadu dengan fokus mengatasi peradangan kronis adalah kunci untuk memerangi penyakit jantung. Pendekatan holistik ini memastikan bahwa setiap pasien mendapat kesempatan terbaik untuk menjalani hidup yang lebih sehat dan lebih penuh.

 

Daftar Pustaka:

1.\tRidker PM, et al. C-reactive protein and other markers of inflammation in the prediction of cardiovascular disease in women. N Engl J Med. 2000;342(12):836-843.

2.\tLibby P, Ridker PM, Hansson GK. Inflammation in atherosclerosis: from pathophysiology to practice. J Am Coll Cardiol. 2009;54(23):2129-2138.

3.\tHansson GK, Hermansson A. The immune system in atherosclerosis. Nat Immunol. 2011;12(3):204-212.

 

Penulis:

Dr. Erta Priadi W. SpJP adalah seorang dokter spesialis jantung dan pembuluh darah yang praktek di Klinik Kiera dan RS Karisma Cimareme dan salah seorang pengurus di PP Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia divisi Infokom.

dr. Erta Priadi W. sp.Jp adalah seorang dokter spesialis jantung dan pembuluh darah yang praktek di Klinik Kiera dan RS Karisma Cimareme dan salah salah seorang pengurus di PP Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia divisi INFOKOM.


d20b6e7f3e1a8b789de8d7e10fa3a0d6-1200x1200.jpeg

November 4, 2025 Article

Meninggal mendadak saat berolahraga, terutama pada aktivitas intensitas tinggi, merupakan kejadian tragis yang meski jarang, namun selalu mengejutkan dan menggugah banyak pertanyaan. Kondisi ini seringkali melibatkan individu yang tampak sehat dan bugar, membuat banyak orang bertanya-tanya mengapa hal ini bisa terjadi. Penyebab utama kematian mendadak saat berolahraga biasanya berkaitan dengan kondisi jantung yang tidak terdiagnosis, seperti kardiomiopati hipertrofik, aritmia jantung, dan penyakit jantung koroner. Selain itu, faktor-faktor eksternal seperti dehidrasi, kelelahan ekstrem, dan penggunaan suplemen atau doping juga dapat berkontribusi terhadap risiko ini.

Beberapa kasus tragis melibatkan kematian mendadak atlet selama pertandingan olahraga menyoroti betapa pentingnya pemeriksaan kesehatan jantung yang baik dan kesiapan tim medis. Hank Gathers, pemain basket Loyola Marymount University, kolaps dan meninggal saat pertandingan pada tahun 1990 di usia 23 tahun. Marc-Vivien Foe, pemain sepak bola Kamerun, meninggal saat bertanding dalam Piala Konfederasi FIFA 2003 setelah kolaps di lapangan pada usia 28 tahun. Antonio Puerta, pemain sepak bola Sevilla, pingsan di lapangan pada tahun 2007 dan meninggal beberapa hari kemudian pada usia 22 tahun. Patrick Ekeng, pemain asal Kamerun, kolaps di lapangan selama pertandingan liga Rumania pada tahun 2016 di usia 26 tahun. Michael Goolaerts, seorang pembalap sepeda, mengalami serangan jantung dan terjatuh saat mengikuti Paris-Roubaix pada tahun 2018; ia segera dibawa ke rumah sakit tetapi meninggal beberapa jam kemudian pada usia 23 tahun. Kasus-kasus ini menunjukkan risiko serius yang dapat terjadi bahkan pada atlet yang terlihat sehat dan bugar.

Belum lama ini, di Indonesia, juga terjadi kematian mendadak pada atlet badminton asal China, Zhang Zi Jie. Saat bertanding dalam babak semifinal sebuah kompetisi di Yogyakarta, Zhang mendadak jatuh dan mengalami kejang-kejang. Meskipun tim medis segera memberikan pertolongan pertama dan membawanya ke rumah sakit, nyawanya tidak tertolong. Kejadian-kejadian seperti ini menegaskan pentingnya memahami penyebab utama kematian mendadak saat berolahraga dan bagaimana cara mencegahnya. Dengan meningkatnya kesadaran akan risiko ini, diharapkan para atlet, pelatih, dan penyelenggara acara olahraga dapat mengambil langkah-langkah preventif yang tepat.

Artikel ini akan membahas lebih lanjut tentang kondisi jantung yang sering tidak terdiagnosis, tanda dan gejala yang perlu diwaspadai, serta cara dokter mendiagnosis kondisi-kondisi tersebut. Selain itu, akan dibahas juga strategi pencegahan dan pentingnya edukasi serta kesiapan medis dalam menghadapi situasi darurat di lapangan. Dengan informasi yang tepat, diharapkan kita semua dapat menikmati manfaat kesehatan dari olahraga tanpa mengorbankan keselamatan.

Dampak Olahraga Terhadap Jantung

Olahraga memiliki banyak manfaat untuk kesehatan jantung. Aktivitas fisik teratur dapat memperkuat otot jantung, meningkatkan sirkulasi darah, dan membantu menjaga berat badan yang sehat, yang semuanya berkontribusi pada penurunan risiko penyakit jantung koroner. Studi menunjukkan bahwa olahraga aerobik, seperti berlari, bersepeda, dan berenang, dapat menurunkan tekanan darah, mengurangi kadar kolesterol jahat (LDL), dan meningkatkan kadar kolesterol baik (HDL). Selain itu, aktivitas fisik membantu mengontrol kadar gula darah dan meningkatkan sensitivitas insulin, yang penting untuk mencegah diabetes tipe 2, salah satu faktor risiko utama penyakit jantung.

Namun, olahraga yang intens dan berlebihan dapat memiliki dampak negatif terhadap jantung, terutama dalam meningkatkan risiko aritmia berbahaya dan serangan jantung. Ketika berolahraga, tubuh melepaskan hormon adrenalin yang dapat meningkatkan detak jantung dan tekanan darah. Pada individu dengan kelainan jantung tersembunyi, peningkatan adrenalin ini dapat memicu aritmia, seperti ventrikular takikardia atau fibrilasi, yang bisa fatal. Selain itu, hormon endorfin yang dilepaskan selama aktivitas fisik intens dapat menutupi rasa sakit, membuat seseorang tidak menyadari bahwa mereka telah melewati batas kemampuan fisik mereka, yang juga dapat meningkatkan risiko kerusakan jantung. Oleh karena itu, penting untuk berolahraga dengan bijaksana, memahami batasan tubuh, dan berkonsultasi dengan profesional medis sebelum memulai program latihan yang intens.

Kondisi Jantung yang Sering Tidak Terdeteksi dan Berpotensi Menimbulkan Masalah Saat Olahraga Intensitas Tinggi

1. Kardiomiopati Hipertrofik (HCM)

Kardiomiopati hipertrofik (HCM) adalah kondisi genetik di mana otot jantung menjadi lebih tebal dari biasanya tanpa penyebab yang jelas. Penebalan ini dapat mengganggu aliran darah keluar dari jantung dan menyebabkan aritmia berbahaya. Gejala HCM sering kali tidak terlihat atau ringan, seperti sesak napas, nyeri dada, dan pingsan, terutama selama atau setelah olahraga. Dokter biasanya mendiagnosis HCM melalui pemeriksaan fisik, elektrokardiogram (EKG), dan ekokardiogram untuk melihat ketebalan dinding jantung dan fungsi jantung.

2. Displasia Ventrikel Kanan Aritmogenik (ARVD)

Displasia ventrikel kanan aritmogenik (ARVD) adalah kondisi genetik lain di mana jaringan otot di ventrikel kanan jantung digantikan oleh jaringan lemak atau fibrosa. Hal ini dapat menyebabkan aritmia yang serius dan berpotensi mematikan. Gejala ARVD meliputi palpitasi, pusing, dan pingsan, terutama saat atau setelah berolahraga. Diagnosis ARVD dilakukan dengan EKG, MRI jantung, dan biopsi endomiokardial untuk memeriksa adanya jaringan abnormal di ventrikel kanan.

3. Aritmia Ventrikel yang Diinduksi oleh Olahraga

Aritmia ventrikel yang diinduksi oleh olahraga adalah kondisi di mana aktivitas fisik memicu irama jantung yang tidak normal, khususnya pada ventrikel. Gejala utamanya adalah keluhan berdebar / palpitasi dan pingsan selama olahraga. Kondisi ini bisa disebabkan oleh kelainan struktural atau kelistrikan pada jantung. Dokter dapat mendiagnosis kondisi ini melalui pemeriksaan EKG saat jantung diberikan beban (Treadmill Stress Test) atau monitoring EKG 24 jam / Holter untuk mendeteksi aritmia yang terjadi selama aktivitas fisik.

4. Infark Miokard Akut

Infark miokard akut, atau serangan jantung, terjadi ketika aliran darah ke bagian otot jantung terhenti, biasanya karena penyumbatan arteri koroner. Gejala serangan jantung mencakup nyeri dada yang berat, sesak napas, keringat dingin, dan pingsan. Meskipun lebih sering terjadi pada orang dewasa yang lebih tua, atlet muda juga bisa mengalami serangan jantung jika lesi aterosklerosis yang tidak signifikan dan belum bergejala mengalami ruptur, menyebabkan terbentuknya gumpalan darah yang menyumbat arteri koroner.

Risiko ini lebih tinggi pada individu yang memiliki kebiasaan tidak sehat seperti merokok, konsumsi makanan tinggi lemak, konsumsi alkohol berlebihan, dan yang sedang mengalami peradangan tidak terkontrol (misalnya, sakit influenza atau memiliki gigi bolong). Semua faktor ini, jika dikombinasikan dengan stres mekanis akibat lonjakan tekanan darah dan denyut jantung yang tinggi selama aktivitas fisik yang intens, dapat menyebabkan ruptur plak yang rentan dan memicu terjadinya serangan jantung.

Faktor lain yang dapat berkontribusi pada terjadinya henti jantung

Selain kondisi jantung yang sudah disebutkan, faktor lain seperti dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit, dan penggunaan doping juga dapat meningkatkan risiko henti jantung mendadak selama olahraga. Dehidrasi dapat menyebabkan penurunan volume darah, yang meningkatkan beban kerja jantung dan risiko aritmia. Ketidakseimbangan elektrolit, terutama kalium dan magnesium, juga dapat mempengaruhi fungsi jantung. Penggunaan doping dan suplemen yang tidak diawasi dengan baik dapat memperparah kondisi ini dengan memicu tekanan darah tinggi dan peningkatan denyut jantung yang berlebihan.

Apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah terjadinya henti jantung saat berolahraga?

1. Lakukan Pemeriksaan Kesehatan Rutin

Sebelum memulai program olahraga intensitas tinggi, sangat penting untuk menjalani pemeriksaan kesehatan rutin. Pemeriksaan ini bertujuan untuk memastikan bahwa jantung Anda dalam kondisi yang baik dan siap menghadapi beban fisik yang berat. Tes yang biasanya dilakukan meliputi elektrokardiogram (EKG), ekokardiogram, dan tes stres untuk menilai fungsi jantung dan mendeteksi adanya kelainan struktural atau ritme jantung yang tidak normal. Konsultasi dengan dokter spesialis jantung sangat dianjurkan, terutama jika Anda memiliki riwayat keluarga dengan penyakit jantung atau gejala yang mencurigakan.

2. Persiapan Sebelum Berolahraga

Pastikan Anda cukup beristirahat dan terhidrasi dengan baik sebelum berolahraga. Hindari alkohol, kafein, dan obat-obatan tertentu yang dapat mempengaruhi fungsi jantung dan menyebabkan dehidrasi atau peningkatan denyut jantung secara drastis. Mengonsumsi makanan yang sehat dan seimbang juga penting untuk memastikan tubuh memiliki energi yang cukup dan mendukung fungsi jantung yang optimal.

3. Kesiapsiagaan Tim Kesehatan

Selama pertandingan atau latihan, penting untuk memiliki tim kesehatan yang sigap dan terlatih dalam menangani situasi darurat. Tim ini harus dilengkapi dengan peralatan medis yang memadai, termasuk alat untuk resusitasi jantung paru (RJP). Pelatihan rutin untuk tim kesehatan dalam penggunaan defibrilator eksternal otomatis (AED) dan teknik RJP sangat penting untuk memastikan respons cepat dan efektif jika terjadi henti jantung mendadak.

4. Fasilitas dengan AED

Fasilitas olahraga dan tempat-tempat lain di mana aktivitas fisik intensitas tinggi berlangsung perlu dilengkapi dengan AED. Alat ini sangat penting untuk memberikan kejutan listrik yang dapat mengembalikan ritme jantung yang normal pada orang yang mengalami henti jantung. AED harus ditempatkan di lokasi yang mudah diakses dan semua staf serta peserta harus dilatih dalam penggunaannya. Keberadaan AED dan pelatihan yang tepat dapat secara signifikan meningkatkan peluang bertahan hidup seseorang yang mengalami henti jantung mendadak.

Jika terjadi henti jantung, apakah RJP bisa membantu?

Kemarin ada pembaca yang menanyakan, jika tim medis sigap dan dilakukan RJP (resusitasi jantung paru) serta defibrilasi cepat, apakah bisa menyelamatkan nyawa? Jawabannya adalah ya, RJP dan defibrilasi cepat dapat secara signifikan meningkatkan peluang bertahan hidup seseorang yang mengalami henti jantung mendadak.

Penelitian menunjukkan bahwa RJP yang dilakukan segera setelah seseorang mengalami henti jantung dapat meningkatkan peluang bertahan hidup dua hingga tiga kali lipat. Waktu adalah faktor kunci; setiap menit penundaan dalam memulai RJP mengurangi peluang bertahan hidup sekitar 7-10%. Dengan adanya defibrilasi, khususnya menggunakan defibrilator eksternal otomatis (AED), peluang bertahan hidup dapat meningkat lebih jauh. Menurut American Heart Association, kombinasi RJP dan defibrilasi dalam 3-5 menit pertama dapat meningkatkan tingkat kelangsungan hidup hingga 74%.

Fabrice Muamba, pemain sepak bola Bolton Wanderers, adalah salah satu contoh terkenal di mana RJP dan defibrilasi yang cepat berhasil menyelamatkan nyawa. Pada tahun 2012, Muamba kolaps di lapangan selama pertandingan Piala FA akibat henti jantung. Tim medis segera melakukan RJP dan menggunakan defibrilator. Setelah 78 menit tanpa detak jantung yang terdeteksi, Muamba akhirnya pulih sepenuhnya tanpa kerusakan otak yang signifikan, berkat respons cepat dan tindakan medis yang tepat.

Kasus lain yang terkenal adalah Christian Eriksen, pemain sepak bola Denmark, yang kolaps saat pertandingan Euro 2020. Tim medis yang berada di lapangan segera memberikan RJP dan menggunakan defibrilator untuk mengembalikan ritme jantungnya. Eriksen berhasil diselamatkan dan kemudian pulih setelah mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit. Insiden ini menyoroti pentingnya kesiapsiagaan medis dan keberadaan AED di setiap acara olahraga.

Penutup

Pelatihan Bantuan Hidup Dasar (BHD) atau resusitasi jantung paru (RJP) sangat penting agar orang-orang di sekitar korban henti jantung dapat bertindak cepat dan efektif. Kemampuan ini dapat membuat perbedaan antara hidup dan mati. Oleh karena itu, pelatihan BHD harus menjadi bagian integral dari pendidikan masyarakat. Di beberapa negara maju, anak-anak di sekolah dasar sudah dilatih untuk melakukan BHD, memastikan bahwa mereka siap menjadi penolong pertama dalam situasi darurat. Dengan pengetahuan dasar tentang RJP, lebih banyak orang dapat memberikan bantuan segera, yang sangat meningkatkan peluang bertahan hidup korban henti jantung mendadak.

Selain pelatihan BHD, mewajibkan tempat publik untuk dilengkapi dengan defibrilator eksternal otomatis (AED) merupakan langkah penting lainnya dalam menyelamatkan nyawa. Banyak negara maju telah menerapkan regulasi yang mengharuskan fasilitas umum seperti sekolah, pusat perbelanjaan, stadion olahraga,  dan gedung perkantoran memiliki AED yang mudah diakses. Keberadaan AED dan pelatihan yang memadai tentang penggunaannya memungkinkan respons cepat terhadap kejadian henti jantung mendadak, memberikan kesempatan terbaik untuk menyelamatkan nyawa sebelum tim medis profesional tiba di lokasi. Dengan demikian, kombinasi pelatihan BHD yang luas dan akses yang baik ke AED adalah kunci untuk meningkatkan keselamatan dan kesehatan masyarakat.

Dr. Erta Priadi Wirawijaya, FIHA. Departemen Informasi & Komunikasi PERKI


5b71e3650454c18d40eae69f2b30d35b.jpeg

November 4, 2025 ArticleNews

Bantuan Hidup Dasar (BHD) adalah keterampilan yang sangat penting dan dapat menyelamatkan nyawa dalam situasi darurat seperti henti jantung mendadak. Henti jantung sendiri sebenarnya adalah kejadian yang cukup sering terjadi. American Heart Association (AHA) melaporkan bahwa diperkirakan sekitar 350.000 orang di dunia meninggal setiap tahun akibat henti jantung di luar rumah sakit. Itu berarti setiap 90 detik ada seseorang yang mengalami henti jantung.

Penyebab henti jantung sangat beragam, tergantung pada kelompok usia dan kondisi kesehatan individu. Anak-anak, misalnya, bisa mengalami henti jantung di rumah karena tersedak, tenggelam, atau tersetrum listrik. Sementara itu, pria dewasa lebih rentan mengalami henti jantung akibat serangan jantung atau gagal jantung. Kombinasi faktor seperti dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit, merokok, dan kelelahan yang diperparah dengan konsumsi obat atau suplemen yang mengandung kafein dapat menjadi penyebab terjadinya aritmia mematikan yang mengakibatkan henti jantung. Terlepas dari penyebabnya, upaya menyelamatkan nyawa melalui BHD menjadi sangat penting dan harus diberikan sesegera mungkin setelah terjadinya henti jantung mendadak.

Di Indonesia, kejadian henti jantung sering kali terjadi di tempat umum dan disaksikan oleh banyak orang. Namun, sayangnya, banyak dari mereka yang tidak melakukan BHD atau Bantuan Hidup Lanjut (BLS) sama sekali. Alih-alih memberikan pertolongan pertama, korban sering kali hanya dibawa begitu saja ke rumah sakit, yang akhirnya menyebabkan mereka tidak tertolong. Keadaan ini menunjukkan betapa pentingnya edukasi dan pelatihan BHD di kalangan masyarakat umum untuk meningkatkan respons pertolongan pertama saat terjadi henti jantung.

Kasus-Kasus Nyata di Indonesia

Contoh nyata dari kondisi ini adalah Irena Justine, seorang aktris muda berusia 22 tahun yang mendadak tidak sadar saat berada di lokasi syuting. Kejadian tersebut disaksikan oleh banyak orang, tetapi tidak ada yang melakukan BHD untuknya. Irena kemudian dibawa ke rumah sakit, namun sayangnya nyawanya tidak tertolong.

Kasus lainnya adalah Markis Kido, seorang pebulutangkis terkenal yang mendadak tidak sadarkan diri di lapangan saat sedang bermain bulu tangkis. Lagi-lagi, meskipun kejadian ini disaksikan oleh banyak orang, tidak ada yang melakukan BHD. Ketika Markis tiba di instalasi gawat darurat rumah sakit, dia sudah tidak dapat diselamatkan.

Baru-baru ini, Zhang Zie Jie mengalami henti jantung mendadak saat sedang beraktivitas dan tersungkur serta mengalami kejang-kejang di depan banyak saksi mata. Tidak ada yang melakukan BHD untuk Zhang, dan akhirnya dia juga meninggal dunia setelah tiba di rumah sakit.

Upaya untuk Merubah Kenyataan Memprihatinkan Ini

Belajar dari berbagai kasus yang telah terjadi sebelumnya, muncul pertanyaan penting: Apa yang bisa kita lakukan untuk merubah kenyataan memprihatinkan ini? Salah satu langkah awal yang sangat penting adalah meningkatkan edukasi dan pelatihan Bantuan Hidup Dasar (BHD) di kalangan masyarakat. Pemerintah dan lembaga kesehatan harus bekerja sama untuk menyediakan program pelatihan BHD yang mudah diakses oleh masyarakat umum, termasuk di sekolah-sekolah, tempat kerja, dan komunitas-komunitas lokal. Selain itu, kampanye kesadaran publik mengenai pentingnya BHD dan cara-cara praktis untuk melakukannya harus digalakkan melalui media massa dan platform digital. Dengan demikian, diharapkan semakin banyak orang yang siap memberikan pertolongan pertama saat terjadi henti jantung, sehingga dapat meningkatkan peluang korban untuk bertahan hidup.

Integrasi BHD dalam Kurikulum Sekolah

Pendidikan BHD di Usia Muda

Pada usia sekolah dasar, anak-anak mulai dapat memahami instruksi sederhana dan memiliki kemampuan motorik yang cukup baik untuk melakukan beberapa teknik dasar dalam BHD. Ini adalah periode krusial di mana pengenalan BHD dapat dilakukan dengan efektif. Anak-anak pada rentang usia ini sangat reseptif terhadap pembelajaran baru dan cenderung memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, sehingga mereka lebih mudah menyerap informasi dasar tentang pentingnya BHD. Di banyak negara maju, pengenalan BHD sudah dimulai pada tahap ini sebagai bagian dari program pendidikan kesehatan di sekolah. Ini membantu membangun fondasi keterampilan dasar yang dapat mereka kembangkan seiring bertambahnya usia.

Program pendidikan BHD untuk anak-anak usia sekolah dasar biasanya mencakup beberapa komponen utama. Pertama, anak-anak diajarkan tentang pentingnya BHD dan bagaimana teknik-teknik dasar ini dapat menyelamatkan nyawa dalam situasi darurat. Mereka juga belajar mengenali tanda-tanda keadaan darurat, seperti seseorang yang tidak responsif atau kesulitan bernapas. Selain itu, mereka diberikan pengetahuan tentang cara meminta bantuan kepada orang dewasa atau petugas kesehatan dengan benar. Semua ini disampaikan melalui metode yang interaktif dan menyenangkan, seperti permainan peran, video edukatif, dan demonstrasi praktis, sehingga anak-anak tidak hanya mengerti teori, tetapi juga siap untuk menerapkan keterampilan tersebut dalam situasi nyata.

Pendidikan BHD di Usia Remaja

Remaja adalah kelompok usia yang sangat ideal untuk diajarkan BHD secara lebih mendalam. Pada usia 13-18 tahun, kemampuan kognitif dan fisik remaja sudah lebih matang, sehingga mereka dapat mempelajari dan melakukan teknik-teknik BHD dengan lebih baik dan akurat. Remaja memiliki kemampuan berpikir kritis yang lebih berkembang, yang memungkinkan mereka memahami lebih dalam tentang anatomi tubuh manusia, fungsi-fungsi vital, dan mekanisme BHD. Ini membuat mereka tidak hanya mampu mengikuti prosedur BHD, tetapi juga memahami logika di balik setiap langkah, yang penting untuk respons cepat dan tepat dalam situasi darurat.

Selain itu, remaja sering berada dalam situasi sosial yang memungkinkan mereka untuk memberikan pertolongan pertama kepada teman sebayanya atau orang lain di sekitar mereka. Mereka aktif dalam berbagai kegiatan seperti olahraga, kegiatan ekstrakurikuler, dan acara sosial, di mana risiko kecelakaan atau keadaan darurat medis lebih tinggi. Kemampuan untuk melakukan BHD memberikan mereka alat penting untuk bertindak sebagai penyelamat dalam situasi-situasi tersebut. Pengajaran BHD kepada remaja juga membangun rasa tanggung jawab sosial dan kepercayaan diri, karena mereka tahu bahwa mereka memiliki keterampilan yang dapat menyelamatkan nyawa orang lain. Ini tidak hanya meningkatkan keselamatan komunitas secara keseluruhan, tetapi juga membentuk generasi muda yang lebih peduli dan siap membantu.

Contoh Implementasi di Negara Lain

  1. Singapura

Di Singapura, BHD diajarkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan kesehatan di sekolah-sekolah. Program ini dikenal dengan nama \”Life Saving Skills Programme\” dan dimulai sejak sekolah dasar. Siswa diajarkan keterampilan dasar seperti resusitasi jantung paru (CPR) dan penggunaan Automated External Defibrillator (AED). Pemerintah Singapura juga mendukung program ini dengan menyediakan pelatihan bagi guru dan fasilitas yang memadai untuk praktik siswa. Selain itu, kolaborasi dengan Singapore Red Cross Society dan Singapore Heart Foundation memastikan bahwa pelatihan ini selalu mutakhir dan relevan.

  1. Korea Selatan

Di Korea Selatan, pelatihan BHD dimulai dari sekolah menengah pertama dan berlanjut hingga sekolah menengah atas. Kurikulum ini mencakup teori dan praktik BHD yang komprehensif, termasuk teknik CPR, penanganan korban tersedak, dan penanganan situasi darurat lainnya. Pemerintah Korea Selatan telah menetapkan standar nasional untuk pelatihan BHD di sekolah, yang harus diikuti oleh semua institusi pendidikan. Selain itu, Korea Selatan juga mengadakan kompetisi tahunan di mana siswa dapat menunjukkan keterampilan BHD mereka, sehingga meningkatkan motivasi dan partisipasi.

  1. Australia

Australia merupakan salah satu negara yang sangat serius dalam mengimplementasikan pelatihan BHD di sekolah. Pelatihan ini dimulai sejak usia dini, dengan program yang dirancang oleh Australian Resuscitation Council. Siswa diajarkan keterampilan dasar seperti CPR, penggunaan AED, dan cara menangani korban kecelakaan. Pelatihan ini sering kali melibatkan sesi praktikum menggunakan manikin dan simulasi situasi darurat. Pemerintah Australia juga memastikan bahwa setiap sekolah memiliki akses ke instruktur bersertifikat dan peralatan pelatihan yang diperlukan.

  1. Jepang

Di Jepang, pendidikan BHD dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah melalui program pendidikan keselamatan. Program ini dimulai dari tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Siswa diajarkan tentang pentingnya BHD, teknik-teknik dasar, dan bagaimana bertindak cepat dalam keadaan darurat. Pemerintah Jepang bekerja sama dengan berbagai organisasi kesehatan untuk memberikan pelatihan kepada guru dan memastikan bahwa setiap sekolah memiliki fasilitas yang memadai untuk pelatihan BHD. Selain itu, Jepang juga memiliki program \”Disaster Preparedness Education\” yang mencakup pelatihan BHD sebagai bagian dari persiapan menghadapi bencana alam.

PP/UU Keselamatan Publik

Selain mengintegrasikannya ke dalam kurikulum di sekolah, pemerintah juga perlu membuat serangkaian kebijakan yang bersifat wajib untuk fasilitas publik. Melalui Peraturan Pemerintah atau Undang-Undang Keselamatan Publik, pemerintah bisa mewajibkan agar daerah berisiko tinggi seperti mall, gym, gelanggang olahraga, dan sekolah menyediakan Automated External Defibrillator (AED). Kebijakan ini penting untuk memastikan bahwa pertolongan pertama bisa diberikan secara cepat dan efektif saat terjadi henti jantung mendadak di tempat-tempat tersebut.

Mall, gym, dan gelanggang olahraga adalah beberapa contoh tempat yang sering dikunjungi oleh banyak orang dan berpotensi tinggi terjadi henti jantung mendadak. Oleh karena itu, penting bagi tempat-tempat ini untuk dilengkapi dengan AED dan petugas yang terlatih dalam penggunaannya. Pemerintah dapat mewajibkan setiap fasilitas ini untuk memiliki setidaknya satu AED yang mudah diakses. Selain itu, pelatihan rutin untuk staf dan pengunjung tentang cara menggunakan AED dan memberikan BHD juga harus diadakan secara berkala. Dengan adanya kebijakan ini, diharapkan setiap orang di fasilitas tersebut dapat memberikan pertolongan pertama yang tepat sebelum tenaga medis tiba, sehingga meningkatkan peluang korban untuk bertahan hidup.

Sekolah juga harus menjadi fokus utama dalam penerapan kebijakan penyediaan AED. Setiap sekolah, baik itu sekolah dasar, menengah, atau perguruan tinggi, perlu dilengkapi dengan AED yang ditempatkan di lokasi strategis yang mudah diakses. Guru, staf sekolah, dan bahkan siswa harus diberikan pelatihan tentang cara menggunakan AED dan melakukan BHD. Mengingat waktu respon yang cepat sangat penting dalam kasus henti jantung, keberadaan AED di sekolah dapat menjadi penentu dalam menyelamatkan nyawa siswa, guru, atau staf sekolah yang mengalami henti jantung mendadak. Pemerintah dapat memberikan insentif atau bantuan dana bagi sekolah-sekolah untuk membeli dan memelihara AED, serta mengadakan pelatihan yang diperlukan.

Kesimpulan

Mengajarkan BHD sejak dini dan mengintegrasikannya ke dalam kurikulum sekolah adalah langkah penting dalam membangun generasi yang siap menyelamatkan nyawa. Contoh dari negara-negara maju menunjukkan bahwa pelatihan BHD yang efektif dapat meningkatkan kesiapsiagaan dan respons masyarakat terhadap situasi darurat. Selain itu, kebijakan pemerintah yang mewajibkan penyediaan AED di fasilitas publik seperti mall, gym, gelanggang olahraga, dan sekolah dapat meningkatkan peluang penyelamatan nyawa dalam kasus henti jantung mendadak. Dengan pendekatan yang komprehensif ini, diharapkan angka kematian akibat henti jantung dapat dikurangi secara signifikan, menciptakan lingkungan yang lebih aman dan sehat bagi semua.

 

(Dr. Erta Priadi Wirawijaya, FIHA. Departemen Informasi & Komunikasi PERKI)


8a7106e1223468a4699677f45b92627e.jpg

November 4, 2025 Article

Bersepeda adalah salah satu olahraga yang menawarkan banyak manfaat kesehatan. Aktivitas ini dapat meningkatkan kebugaran kardiovaskular, memperkuat otot, serta meningkatkan fleksibilitas dan keseimbangan tubuh. Bersepeda secara rutin juga dapat membantu menurunkan risiko penyakit jantung, tekanan darah tinggi, dan diabetes tipe 2. Selain itu, bersepeda juga bisa menjadi cara yang efektif untuk menjaga berat badan ideal dan memperbaiki kesehatan mental, karena olahraga ini membantu melepaskan hormon endorfin yang meningkatkan suasana hati.

Namun, saya ingin berbagi tentang pengalaman pasien saya, seorang pria berusia 45 tahun yang datang ke IGD dengan keluhan nyeri dada. Pasien tersebut awalnya mengeluh nyeri dada sekitar satu minggu sebelumnya, terutama saat melakukan aktivitas fisik. Namun, karena nyeri tersebut tidak terasa berat, ia mengabaikannya. Hingga suatu pagi, saat berlari pagi dengan istrinya, nyeri dadanya semakin berat, yang akhirnya membawanya ke IGD rumah sakit kami. Setelah pemeriksaan EKG, jelas terlihat bahwa pasien mengalami serangan jantung, dan dia segera dirujuk ke rumah sakit rujukan untuk tindakan Percutaneous Coronary Intervention (PCI). PCI adalah prosedur untuk membuka arteri yang tersumbat dengan menggunakan balon kecil atau stent untuk memperbaiki aliran darah ke jantung.

Saat menjalani PCI, diketahui bahwa pasien mengalami penyempitan pada dua pembuluh darah utama jantungnya. Setelah prosedur, keluhannya terkontrol, namun direncanakan untuk tindakan PCI berikutnya dalam beberapa bulan, dikenal sebagai staging PCI. Staging PCI sering dipilih pada kasus ST-Elevation Myocardial Infarction (STEMI) dibandingkan dengan complete revascularization dalam satu tindakan, karena melakukan revaskularisasi penuh sekaligus bisa meningkatkan risiko komplikasi selama prosedur dan juga dapat menyebabkan stress pada jantung yang masih dalam masa pemulihan.

Setelah prosedur tersebut, pasien bertanya kepada saya, \”Dok, kenapa saya bisa kena serangan jantung? Padahal hidup saya sehat. Saya makan makanan sehat dan olahraga rutin. Setiap minggu saya bersepeda dari Padalarang ke Lembang, bahkan pernah bersepeda dari Bandung ke Pangandaran, tapi kenapa bisa kena penyakit jantung koroner?\”

Saya menjelaskan bahwa bersepeda memang sangat baik untuk kesehatan, namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar manfaatnya optimal dan tidak justru menimbulkan risiko bagi kesehatan jantung.

  1.    Olahraga berlebihan dalam jangka waktu lama bisa berbahaya. Ketika seseorang melakukan olahraga intens seperti bersepeda dalam waktu lama, detak jantung dan tekanan darah akan meningkat untuk waktu yang lama. Kondisi ini bisa meningkatkan risiko gangguan pembuluh darah dan jantung karena tekanan mekanis yang tinggi pada dinding pembuluh darah dapat menyebabkan robekan kecil, yang pada akhirnya memicu serangan jantung atau stroke.
  2.    Olahraga dalam kondisi udara yang bersih sangat baik, namun berbahaya jika dilakukan saat polusi tinggi. Jika bersepeda dilakukan saat kualitas udara buruk, seperti saat indeks kualitas udara (AQI) menunjukkan angka yang tinggi, justru bisa berdampak negatif. Polusi udara, terutama partikel halus PM2.5, dapat masuk ke paru-paru dan aliran darah, menyebabkan peradangan di pembuluh darah, meningkatkan tekanan darah, dan memperburuk kondisi jantung. Penelitian menunjukkan bahwa paparan jangka panjang terhadap PM2.5 dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, termasuk serangan jantung dan stroke.

Untuk meminimalisir risiko dari bersepeda yang diuraikan diatas hal yang bisa anda lakukan ada beberapa, pertama ada bisa melakukan pemeriksaan TD sebelum bersepeda, kalau misalnya TD anda tergolong tinggi, misal >140/90 mmHg. Sebaiknya anda olahraga ringan saja, atau lebih baik obati dulu tekanan darahnya yang tinggi. Pastikan tekanan darah anda terkontrol sebelum berolahraga.

Kedua, pantau tekanan darah anda saat berolah raga. Hal ini bisa dilakukan dengan melakukan pemeriksaan tekanan darah saat anda dalam kondisi kecapaian saat olahraga / peak exercise. Detak jantung dan tekanan darah, memang normalnya akan meningkat jika anda olahraga. Kalau justru turun, kemungkinannya ada yang salah di jantung anda. Peningkatan tekanan darah sistolik di rentang 140-160 mmHg saat olahraga masih terbilang aman. Namun jika tekanan darah meningkat lebih dari itu, bahkan lebih dari >180 mmHg, itu sangat berisiko. Jika ada temuan seperti itu, lekas ke dokter dan obati dulu tekanan darahnya. Tekanan darah yang tinggi saat olahraga biasanya akan turun dengan sendirinya dalam waktu 15 menit setelah anda beristirahat. Jika masih tinggi, ini juga menandakan kemampuan tubuh anda dalam mengontrol tekanan darah sudah mulai bermasalah.

Ketiga, terkait kualitas udara, tinggal browsing internet dan lihat berapa AQI di tempat anda mau olahraga, jika tinggi sebaiknya jangan olahraga outdoor. Hindari olahraga disebelah jalan yang padat kendaraan, karena sudah jelas kendaraan bermotor itu menghasilkan polusi yang berbahaya untuk kesehatan.

Jadi, meskipun bersepeda memiliki banyak manfaat kesehatan, penting untuk melakukannya dengan bijak. Hindari olahraga berlebihan dan perhatikan kondisi lingkungan, terutama kualitas udara, untuk meminimalkan risiko dan memaksimalkan manfaat dari aktivitas ini. Semoga informasinya bermanfaat. Kalau ada pertanyaan ringan bisa disampaikan di kolom komentar.*

 

(Dr. Erta Priadi Wirawijaya, FIHA. Departemen Informasi & Komunikasi PERKI)


e4efabd6b6254119c4b63f48e2d9c248.jpg

November 4, 2025 Article

Bagi pasien diabetes yang juga memiliki riwayat penyakit jantung, mungkin dokter Anda sudah merekomendasikan pengobatan dengan inhibitor SGLT-2 (Sodium-glucose Cotransporter-2). Pada awalnya, obat ini diperkenalkan untuk membantu mengontrol gula darah pada penderita diabetes tipe 2. Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa inhibitor SGLT-2 memiliki manfaat luar biasa dalam melindungi kesehatan jantung dan ginjal, khususnya pada pasien dengan penyakit jantung dan diabetes. Ada alasan ilmiah yang kuat di balik rekomendasi ini, terutama bagi mereka yang memiliki risiko tinggi komplikasi jantung.

Manfaat Inhibitor SGLT-2 untuk Pasien Jantung dan Diabetes

Sejumlah penelitian besar menunjukkan bahwa inhibitor SGLT-2 tidak hanya membantu menurunkan kadar gula darah tetapi juga memiliki efek kardioprotektif dan nefroprotektif (melindungi fungsi ginjal). Salah satu studi utama yang dipublikasikan oleh Zinman et al. pada tahun 2015 menunjukkan bahwa penggunaan empagliflozin, salah satu jenis inhibitor SGLT-2, dapat mengurangi risiko kematian akibat penyakit jantung hingga 38% pada pasien dengan diabetes dan penyakit jantung. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa obat ini dapat menurunkan risiko rawat inap akibat gagal jantung hingga 35%.

Selain empagliflozin, studi-studi serupa dengan dapagliflozin dan canagliflozin, dua inhibitor SGLT-2 lainnya, menemukan manfaat yang signifikan dalam mengurangi risiko rawat inap karena gagal jantung dan memperlambat penurunan fungsi ginjal. Bahkan, penelitian yang dipublikasikan dalam New England Journal of Medicine pada tahun 2019 menunjukkan bahwa dapagliflozin mampu menurunkan risiko kematian dan rawat inap akibat gagal jantung, baik pada pasien dengan atau tanpa diabetes.

Mengapa Inhibitor SGLT-2 Efektif Melindungi Jantung?

Inhibitor SGLT-2 bekerja dengan mengurangi kadar gula dalam darah melalui mekanisme yang unik, yaitu dengan meningkatkan ekskresi glukosa melalui urine. Efek ini tidak hanya membantu menurunkan gula darah, tetapi juga memberikan manfaat bagi jantung dan ginjal melalui beberapa mekanisme:

  1. Mengurangi Beban Jantung

Dengan mengeluarkan kelebihan glukosa dan natrium dari tubuh, inhibitor SGLT-2 membantu mengurangi volume cairan dalam tubuh. Hal ini mengurangi tekanan yang harus dihadapi jantung untuk memompa darah, yang pada akhirnya membantu mengurangi risiko gagal jantung, terutama pada pasien yang memiliki masalah pembengkakan atau retensi cairan.

  1. Efek Diuretik Osmotik

Inhibitor SGLT-2 juga memiliki efek diuretik ringan yang membantu mengurangi tekanan darah dan mengurangi volume cairan. Ini memberikan manfaat pada pasien gagal jantung dengan meningkatkan fungsi kardiovaskular tanpa menyebabkan kehilangan kalium berlebihan yang biasanya terjadi pada obat diuretik konvensional.

  1. Mengurangi Risiko Peradangan dan Stres Oksidatif

Penelitian menunjukkan bahwa inhibitor SGLT-2 dapat mengurangi peradangan dan stres oksidatif, yang sering kali menjadi pemicu terjadinya pembentukan plak pada pembuluh darah. Plak ini dapat menyumbat aliran darah dan menyebabkan serangan jantung atau stroke.

Rekomendasi dari Panduan ACC/AHA, ADA, dan ESC

Berdasarkan bukti yang kuat ini, berbagai asosiasi kardiologi dan diabetes internasional, seperti American College of Cardiology (ACC), American Diabetes Association (ADA), dan European Society of Cardiology (ESC), kini merekomendasikan penggunaan inhibitor SGLT-2 bagi pasien diabetes tipe 2 dengan penyakit jantung atau risiko kardiovaskular tinggi. Dalam pedoman terbaru, inhibitor SGLT-2 dianjurkan sebagai terapi lini pertama bagi pasien diabetes yang juga mengalami gagal jantung atau memiliki risiko komplikasi jantung tinggi, bahkan sebelum penambahan insulin atau obat penurun gula darah lainnya.

Selain itu, pedoman ini juga mendukung penggunaan inhibitor SGLT-2 pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, karena obat ini terbukti memperlambat progresivitas penyakit ginjal. Penggunaan inhibitor SGLT-2 pada pasien yang memiliki diabetes dan penyakit jantung kini memiliki status Kelas I, yang berarti sangat dianjurkan berdasarkan bukti ilmiah yang kuat akan manfaatnya.

Penggunaan Inhibitor SGLT-2: Yang Perlu Diketahui Pasien

Sebagai dokter jantung, kami merekomendasikan inhibitor SGLT-2 sebagai bagian dari upaya untuk melindungi kesehatan jantung dan ginjal pasien dengan diabetes. Dalam menjelaskan manfaat inhibitor SGLT-2, kami menggunakan pendekatan SHARE dari CDC untuk memastikan pasien memahami keuntungan terapi ini. Berikut langkah-langkah pendekatan yang kami terapkan:

* SHARE the reasons: Kami selalu menjelaskan bahwa inhibitor SGLT-2 tidak hanya menurunkan gula darah, tetapi juga melindungi jantung dan ginjal. Kami berbagi hasil studi yang mendukung efektivitasnya, terutama dalam menurunkan risiko rawat inap dan komplikasi jantung.

* HIGHLIGHT positive experiences: Kami sering berbagi pengalaman pasien lain yang mengalami perbaikan signifikan setelah mengonsumsi obat ini. Banyak pasien yang merasa lebih stabil, lebih sedikit mengalami sesak, dan memiliki tekanan darah lebih baik setelah beberapa bulan terapi.

* ADDRESS patient questions: Banyak pasien bertanya tentang efek samping obat ini, seperti infeksi saluran kemih atau infeksi jamur. Kami menjelaskan bahwa efek ini bisa dicegah dengan menjaga kebersihan area genital dan minum cukup air, serta manfaatnya jauh lebih besar dibandingkan risikonya.

* REMIND patients that SGLT-2 inhibitors protect their heart and kidneys: Kami mengingatkan bahwa pasien diabetes dengan riwayat jantung berisiko tinggi mengalami komplikasi. Inhibitor SGLT-2 terbukti menurunkan risiko ini, dan menjadi upaya sederhana namun kuat untuk melindungi jantung dan ginjal mereka.

* EXPLAIN the potential costs of complications: Komplikasi jantung dan ginjal bisa membutuhkan perawatan intensif dan rawat inap jangka panjang, yang tentu saja berdampak pada biaya kesehatan. Dengan menggunakan inhibitor SGLT-2, pasien berinvestasi dalam kesehatan mereka untuk mengurangi risiko biaya jangka panjang akibat komplikasi.

Kesimpulan

Inhibitor SGLT-2 kini tidak hanya berperan sebagai obat penurun gula darah, tetapi juga sebagai pelindung jantung dan ginjal bagi pasien diabetes yang memiliki penyakit jantung. Penggunaan inhibitor SGLT-2 terbukti menurunkan risiko komplikasi jantung dan ginjal yang serius, memperbaiki kualitas hidup pasien, dan memberikan perlindungan tambahan yang sangat dibutuhkan oleh pasien dengan risiko tinggi.

Bagi Anda yang memiliki diabetes dan penyakit jantung, inhibitor SGLT-2 dapat menjadi langkah efektif dalam mengurangi risiko komplikasi. Dengan berkonsultasi pada dokter, Anda dapat memahami lebih jauh manfaat pengobatan ini dan bagaimana ia dapat membantu Anda dalam menjalani hidup yang lebih sehat.

(Dr. Erta Priadi Wirawijaya, FIHA. Departemen Informasi & Komunikasi PERKI)

Referensi:

  1. Zinman B, Wanner C, Lachin JM, et al. Empagliflozin, Cardiovascular Outcomes, and Mortality in Type 2 Diabetes. New England Journal of Medicine. 2015; 373:2117-2128.
  2. McMurray JJ, Solomon SD, Inzucchi SE, et al. Dapagliflozin in Patients with Heart Failure and Reduced Ejection Fraction. New England Journal of Medicine. 2019; 381:1995-2008.
  3. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI). Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2021.
  4. American Diabetes Association. Standards of Medical Care in Diabetes—2021. Diabetes Care. 2021; 44(Suppl 1).
  5. European Society of Cardiology. ESC Guidelines on diabetes, pre-diabetes, and cardiovascular diseases developed in collaboration with the EASD. European Heart Journal. 2019; 40(39):3215-3227.

b9a982de119156ac71c8733548f210bb.jpeg

November 4, 2025 ArticleNews

Siapa sangka, obat yang awalnya dirancang \”hanya\” untuk menurunkan gula darah ternyata juga bisa memberikan perlindungan bagi jantung? Inilah cerita menakjubkan di balik golongan SGLT2 inhibito –pil yang semula dianggap revolusioner dalam menangani diabetes tipe 2, namun belakangan justru banyak digunakan oleh para dokter jantung. Bayangkan seperti menemukan \”bonus tersembunyi\” di dalam paket belanja: niatnya beli obat antidiabetes, tapi dapat pula manfaat ekstra untuk mencegah gagal jantung dan mengurangi risiko kematian kardiovaskular. Sebuah terobosan yang mengubah peta permainan di dunia medis dan menghadirkan angin segar bagi jutaan pasien!

Apa itu SGLT2 Inhibitor?

SGLT2 (Sodium-Glucose Cotransporter 2) adalah protein yang ada di ginjal, bertugas menyerap kembali glukosa dari urin ke dalam darah. Jika diibaratkan, dia seperti \”penjaga gerbang\” yang memastikan tidak ada gula yang terbuang sia-sia. Tetapi pada kondisi diabetes tipe 2, tubuh kita kebanyakan gula. Nah, SGLT2 inhibitor (misalnya dapagliflozin, empagliflozin, canagliflozin, dan ertugliflozin) bekerja menghambat si \”penjaga gerbang\” ini supaya sebagian gula \”dibuang\” lewat urin. Hasilnya? Kadar gula darah menurun, dan pasien diabetes bisa lebih terkontrol gula darahnya.

Sejak pertama kali diluncurkan, SGLT2 inhibitor sudah menjadi \”senjata baru\” dalam terapi diabetes, karena mekanismenya unik –mengurangi gula darah dengan cara \”buang gula\” lewat kencing. Jauh beda dari obat antidiabetes lama yang kebanyakan bekerja memengaruhi produksi insulin di pankreas atau sensitivitas tubuh terhadap insulin. Singkat cerita, SGLT2 inhibitor menawarkan pendekatan segar dalam tata laksana diabetes.

 

Kejutan di Dunia Medis: Manfaat Buat Jantung

Nah, kejutan muncul ketika para ilmuwan menemukan bahwa pasien diabetes yang memakai SGLT2 inhibitor ternyata memiliki risiko lebih rendah terkena gagal jantung dan komplikasi kardiovaskular. Lo, kok bisa? Rupanya, efek dari SGLT2 inhibitor tak berhenti pada penurunan gula darah saja. Efeknya yang bagus untuk jantung antara lain:

  1. Menurunkan Volume Cairan Berlebih

Dengan membuang gula, secara otomatis obat ini juga membuat tubuh mengeluarkan lebih banyak cairan (karena gula menarik air). Ini berkontribusi pada pengurangan beban volume pada jantung dan pembuluh darah, sehingga membantu mengatasi kondisi seperti gagal jantung.

  1. Menurunkan Tekanan Darah

Efek diuretik ringan yang dimiliki SGLT2 inhibitor, plus penurunan beban sirkulasi, cenderung membuat tekanan darah ikut turun –ibarat membuang \”kelebihan muatan\” yang kerap memberatkan kinerja jantung.

  1. Perbaikan Metabolik

Selain mengendalikan gula darah, SGLT2 inhibitor juga berdampak positif pada berat badan dan profil lipid (lemak darah), walau tidak sedramatis obat penurun berat badan lain seperti GLP-1 agonis. Tetap saja, penurunan berat badan sedikit pun dapat membantu meringankan kerja jantung.

Penemuan ini seolah memberi \”dua manfaat dalam satu obat.\” Awalnya hanya untuk diabetes, eh ternyata menyelamatkan jantung juga. Ibarat Anda beli nasi padang, tiba-tiba dapat bonus teh es manis gratis –bahagia banget, kan?

Bukti Ilmiah di Balik Kehebatan SGLT2 Inhibitor

Tentu, kedokteran bukan soal \”katanya\” atau \”konon kabarnya.\” Para ahli butuh bukti dari uji klinis berskala besar. Beberapa penelitian penting yang mendukung penggunaan SGLT2 inhibitor untuk jantung, antara lain:

 

  1. EMPA-REG OUTCOME (2015)

Penelitian ini meneliti empagliflozin pada pasien diabetes tipe 2 dengan risiko kardiovaskular tinggi. Hasilnya? Empagliflozin secara signifikan menurunkan risiko kematian kardiovaskular dan hospitalisasi akibat gagal jantung. (Zinman B, dkk., 2015, New England Journal of Medicine)

  1. DAPA-HF (2019)

Studi ini khusus meneliti dapagliflozin pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi berkurang (HFrEF), baik yang diabetes maupun tidak. Hebatnya, dapagliflozin mampu menurunkan angka rawat inap gagal jantung dan kematian kardiovaskular. (McMurray JJV, dkk., 2019, New England Journal of Medicine)

  1. EMPEROR-Reduced (2020)

Masih dengan empagliflozin, studi ini menegaskan kembali manfaat yang sama pada pasien HFrEF, terlepas dari status diabetes mereka. (Packer M, dkk., 2020, New England Journal of Medicine)

Penelitian-penelitian inilah yang akhirnya memicu perubahan signifikan dalam pedoman (guideline) kardiologi. Dahulu, dokter jantung belum terpikir memasukkan SGLT2 inhibitor sebagai terapi utama gagal jantung. Sekarang, SGLT2 inhibitor malah menjadi \”pemain inti\” yang direkomendasikan oleh European Society of Cardiology (ESC) dan American Heart Association (AHA) untuk pasien HFrEF.

 

Pemanfaatan pada Berbagai Tipe Gagal Jantung

Tahukah Anda bahwa gagal jantung sendiri ada macam-macam tipenya? Yang paling umum dibicarakan adalah:

  1. Gagal Jantung dengan Fraksi Ejeksi Berkurang (HFrEF)

Di sini, jantung sulit memompa darah dengan kuat (fraksi ejeksi <40%). Berkat uji klinis seperti DAPA-HF dan EMPEROR-Reduced, kini SGLT2 inhibitor telah resmi menjadi salah satu opsi terapi andalan.

  1. Gagal Jantung dengan Fraksi Ejeksi Terpertahankan (HFpEF)

Pada tipe ini (fraksi ejeksi >=50%), jantung masih cukup kuat berkontraksi, tetapi kaku (tidak elastis) saat relaksasi. Studi terbaru juga menyebutkan bahwa beberapa SGLT2 inhibitor bermanfaat dan member secercah harapan bagi pasien yang sebelumnya minim opsi pengobatan efektif.

Singkatnya, SGLT2 inhibitor tidak hanya untuk pasien diabetes. Bahkan, pasien gagal jantung tanpa diabetes pun bisa merasakan manfaatnya. Istilah gaulnya, \”all-in-one package!\”

 

Pertimbangan dan Efek Samping

Tentu, tidak ada obat yang \”sempurna.\” Beberapa efek samping SGLT2 inhibitor yang paling umum antara lain:

  1. Infeksi Saluran Kemih dan Genital

Karena banyak gula \”terbuang\” melalui urin, area saluran kemih menjadi lebih \”manis\”, sehingga lebih rentan infeksi jamur atau bakteri.

  1. Penurunan Tekanan Darah Berlebihan (Hipotensi)

Efek diuretik ringan bisa membuat tekanan darah turun drastis pada beberapa orang, terutama mereka yang sudah minum obat penurun tekanan darah lain.

  1. Euglycemic Diabetic Ketoacidosis (eDKA)

Ini kasus langka tapi serius: terjadi ketoasidosis (asam berlebih dalam darah) meski kadar gula darah tidak terlalu tinggi. Biasanya muncul pada pasien diabetes tipe 1 atau kondisi tertentu yang memicu dehidrasi.

Sebagai dokter, tentu kami harus menilai kondisi pasien secara menyeluruh –termasuk fungsi ginjal, tekanan darah, dan risiko infeksi– sebelum meresepkan SGLT2 inhibitor. Pasien juga perlu diedukasi tentang tanda-tanda infeksi saluran kemih dan anjuran minum air putih cukup.

 

Tips Bagi Pasien

  1. Konsultasi Terlebih Dahulu

Meski terdengar menggiurkan, SGLT2 inhibitor bukan \”obat sembarangan.\” Pastikan Anda berkonsultasi dengan dokter untuk penilaian kondisi jantung, gula darah, serta fungsi ginjal.

  1. Tetap Jaga Pola Hidup Sehat

Obat saja tidak cukup. Pola makan seimbang (rendah gula, rendah garam, dan kaya serat), aktivitas fisik teratur (sebisa mungkin, misalnya jalan kaki 30 menit), serta manajemen stres tetap menjadi \”pondasi\” kesehatan jantung dan metabolisme.

  1. Pemantauan Rutin

Jangan lupa cek tekanan darah, kadar gula darah, dan berat badan secara berkala. Kadang, dengan obat ini, penurunan berat badan bisa terjadi, yang tentu akan menguntungkan bagi pasien gagal jantung obesitas. Namun, pemantauan berkala penting untuk mendeteksi efek samping sejak dini.

Kesimpulan

Cerita tentang \”obat diabetes yang akhirnya jadi obat jantung\” adalah bukti bahwa ilmu kedokteran selalu berkembang. SGLT2 inhibitor sudah membuktikan diri tak hanya membantu menurunkan gula darah, tetapi juga menurunkan risiko gagal jantung dan kematian kardiovaskular –bahkan pada pasien tanpa diabetes. Ini ibarat superhero yang semula hanya bertarung di satu \”wilayah,\” tiba-tiba menyelamatkan beberapa \”kota\” sekaligus!

Meski begitu, perlu diingat bahwa setiap obat punya \”syarat dan ketentuan\” yang harus dipenuhi. Efek samping, kontraindikasi, dan biaya obat menjadi faktor penting dalam pengambilan keputusan. Karena itu, diskusikan selalu dengan dokter, dan jangan lupa jalani gaya hidup sehat. Ingatlah, kesehatan jantung Anda bukanlah sesuatu yang bisa dikompromikan.

Jadi, jangan kaget kalau suatu hari dokter Anda menyarankan obat \”buang gula\” –walaupun Anda bukan penderita diabetes! Itu artinya, sains dan teknologi sudah membuktikan, jantung Anda layak mendapatkan perlindungan terbaik.

(Dr. Erta Priadi Wirawijaya, FIHA. Departemen Informasi & Komunikasi PERKI)

 

Referensi

  1. Zinman B, Wanner C, Lachin JM, et al. (2015). Empagliflozin, Cardiovascular Outcomes, and Mortality in Type 2 Diabetes. New England Journal of Medicine, 373: 2117-2128.
  2. McMurray JJV, Solomon SD, Inzucchi SE, et al. (2019). Dapagliflozin in Patients with Heart Failure and Reduced Ejection Fraction. New England Journal of Medicine, 381: 1995-2008.
  3. Packer M, Anker SD, Butler J, et al. (2020). Cardiovascular and Renal Outcomes with Empagliflozin in Heart Failure. New England Journal of Medicine, 383: 1413-1424.
  4. American Heart Association. (2023). Heart Failure Treatment Guidelines. Diakses melalui www.heart.org.

 


78dd2d628eddbef1228373b168c7be34.jpeg

November 4, 2025 ArticleNews

Ketika kita membahas penyakit jantung, mungkin pikiran langsung melayang ke kolesterol tinggi, kebiasaan merokok, atau tekanan darah yang tak terkontrol. Namun, tahukah Anda bahwa ada satu elemen \”samar\” yang sering terabaikan, padahal diam-diam bekerja merusak sistem kardiovaskular kita? Yup, itulah peradangan kronis –musuh dalam selimut yang bisa mengacaukan jantung dan pembuluh darah secara perlahan tapi pasti. Bayangkan seperti api kecil di pojokan, dibiarkan menyala, lama-lama bisa membakar seluruh rumah!

Apa Itu Peradangan Kronis?

Peradangan kronis adalah respon imun yang berlangsung terus-menerus dalam tubuh. Di satu sisi, sistem imun memang dirancang untuk melawan infeksi dan memperbaiki kerusakan jaringan. Namun, jika peradangan ini tidak berhenti –misalnya karena gaya hidup tidak sehat, obesitas, atau stres berkepanjangan–  maka sistem imun akan terus \”menembakkan peluru\” ke jaringan sehat, termasuk dinding pembuluh darah.

Dalam kondisi normal, peradangan sesaat (akut) berguna untuk proses penyembuhan –seperti saat kita terantuk meja dan lutut memar, tubuh akan mengirim \”tim penyelamat\” untuk memperbaiki kerusakan. Tapi lain cerita jika peradangan ini berubah menjadi kronis: efeknya tidak lagi membantu, melainkan merusak sel-sel di tubuh, termasuk sel endotel di pembuluh darah kita.

Mengapa Peradangan Kronis Mengancam Jantung?

  1. Memicu Pembentukan Plak Aterosklerosis

Salah satu \”pemain utama\” dalam penyakit jantung koroner adalah plak aterosklerosis, yang terbentuk di dinding arteri. Prosesnya mirip adukan semen yang menempel di tembok, semakin lama semakin menebal. Peradangan kronis mempercepat pembentukan plak ini. Zat-zat kimia proinflamasi (seperti sitokin) akan memperburuk kerusakan endotel, membuat kolesterol jahat (LDL) lebih mudah menempel, dan meningkatkan migrasi sel otot polos ke area yang rusak. Akhirnya, pembuluh darah kian menyempit.

  1. Destabilisasi Plak

Tidak hanya membuat plak tumbuh lebih cepat, peradangan kronis juga bisa membuat plak lebih \”gampang pecah\” Ketika plak pecah, terbentuklah gumpalan darah (trombus) yang bisa menyumbat arteri koronaria dan menyebabkan serangan jantung. Ibarat balon yang terus ditiup hingga meletus –hasilnya bencana bagi jantung.

  1. Gangguan Fungsi Pembuluh Darah

Pembuluh darah sehat mampu melebar dan menyempit sesuai kebutuhan tubuh. Namun, jika peradangan telah merusak dinding pembuluh darah, kemampuannya untuk relaksasi menurun –muncullah kekakuan yang membuat tekanan darah cenderung naik. Peningkatan tekanan darah dalam jangka panjang membebani jantung, berkontribusi pada risiko gagal jantung.

  1. Merusak Keseimbangan Metabolik

Peradangan kronis berhubungan erat dengan resistensi insulin, obesitas, dan diabetes tipe 2. Kita tahu ketiga masalah tersebut adalah \”gerbang utama\” menuju gangguan jantung. Jadi, bisa dibilang, peradangan kronis ini adalah satu \”benang merah\” yang mengaitkan berbagai faktor risiko kardiometabolik.

Tanda-Tanda Peradangan Kronis

Memang tidak semudah memeriksa kadar kolesterol atau tekanan darah. Peradangan kronis sering tidak menimbulkan gejala spesifik. Namun, beberapa tanda berikut dapat menjadi \”lampu kuning\”:

  1. Nyeri sendi berkepanjangan tanpa sebab jelas.
  2. Kelelahan terus-menerus.
  3. Gangguan pencernaan berulang.
  4. Berat badan tidak stabil.
  5. Sering sakit kepala atau migrain.

Tentu, tanda-tanda ini tidak otomatis berarti Anda pasti mengalami peradangan kronis. Meski begitu, tetap penting memeriksakan diri jika keluhan berulang dan tak kunjung hilang.

Siapa yang Berisiko?

  1. Perokok

Zat kimia dalam rokok bukan hanya merusak paru-paru, tapi juga memicu reaksi peradangan pada dinding pembuluh darah. Ibarat \”asap beracun\” yang menyerang dari berbagai arah, kebiasaan merokok memperbesar risiko munculnya plak aterosklerosis di arteri.

  1. Penderita Obesitas

Jaringan lemak, terutama lemak visceral, aktif memproduksi sitokin proinflamasi (seperti TNF-a dan Interleukin-6) yang memperburuk peradangan sistemik. Tak heran jika obesitas kerap dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit jantung, diabetes, dan hipertensi.

  1. Pengidap Diabetes

Kadar gula darah tinggi pada penderita diabetes dapat merusak sel endotel (lapisan dalam pembuluh darah), memicu peningkatan mediator inflamasi. Semakin sulit kadar gula darah dikontrol, semakin tinggi pula peradangan yang terjadi.

  1. Orang dengan Stres Kronis

Hormon stres (kortisol) yang terproduksi terus-menerus dapat memengaruhi keseimbangan sistem imun, sehingga memicu peradangan yang berlangsung lama. Stres kronis juga sering mengarah pada kebiasaan tak sehat, seperti pola makan berlebihan atau merokok.

  1. Penderita Penyakit Autoimun

Penyakit autoimun seperti Lupus, Rheumatoid Arthritis (RA), dan Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah contoh situasi di mana sistem kekebalan tubuh justru menyerang sel-sel sehat. Proses ini menyebabkan peradangan kronis, yang pada gilirannya dapat memicu atau memperburuk kerusakan pembuluh darah. Beberapa studi menunjukkan bahwa penderita lupus atau RA memiliki risiko lebih tinggi terkena penyakit jantung koroner karena peradangan yang terus-menerus.

  1. Infeksi Kronis

Infeksi yang tidak teratasi dengan baik dapat berkembang menjadi peradangan jangka panjang. Misalnya, infeksi periodontal (radang gusi menahun) dapat melepaskan bakteri dan toksinnya ke dalam sirkulasi darah, menyebabkan peradangan sistemik. Kemudian, infeksi Helicobacter pylori (H. pylori) di lambung, jika berlangsung kronis, juga bisa meningkatkan produksi mediator inflamasi. Di Indonesia, tuberkulosis (TBC) kronis pun masih menjadi tantangan besar; proses infeksi yang lama dapat menimbulkan peradangan berkepanjangan dan membebani tubuh secara keseluruhan, termasuk sistem kardiovaskular.

Mengendalikan Peradangan untuk Mencegah Penyakit Jantung

  1. Pola Makan Antiinflamasi

Makanan kaya antioksidan dan asam lemak sehat (seperti ikan berlemak, buah-buahan, sayuran berwarna-warni, serta kacang-kacangan) membantu meredakan peradangan. Batasi gula, garam, dan lemak trans yang menjadi \”bahan bakar\” bagi api peradangan.

  1. Olahraga Teratur

Aktivitas fisik moderat –contohnya jalan kaki 30 menit sehari, berenang, atau bersepeda–dapat menurunkan kadar penanda inflamasi dalam darah (misalnya CRP/ C-reactive protein). Meski demikian, hindari olahraga berlebihan yang justru dapat memicu stres fisik tambahan.

  1. Kontrol Stres

Stres kronis memicu lonjakan hormon kortisol yang bisa memicu peradangan. Teknik relaksasi, meditasi, yoga, atau sekadar meluangkan waktu untuk hobi dapat menormalkan kembali respons tubuh terhadap stres.

  1. Tidur Berkualitas

Kurang tidur mengganggu kerja sistem imun. Berusaha tidur 7-8 jam per malam membantu tubuh melakukan \”reparasi\” dan meminimalkan pelepasan sitokin proinflamasi.

  1. Berhenti Merokok

Selain merusak paru-paru, kebiasaan merokok juga memicu peradangan dan merusak dinding pembuluh darah. Berhenti merokok adalah salah satu cara paling efektif untuk menurunkan risiko penyakit kardiovaskular.

  1. Penanganan Khusus untuk Penyakit Autoimun dan Infeksi Kronis

– Penyakit Autoimun: Konsultasikan ke dokter spesialis untuk terapi yang menekan aktivitas berlebih sistem imun (misalnya penggunaan obat antirematik pemodifikasi penyakit/DMARD, kortikosteroid, atau terapi biologis). Manajemen yang baik tak hanya meringankan gejala, tetapi juga menekan peradangan yang merugikan jantung.

– Infeksi Kronis: Pastikan infeksi periodontal ditangani oleh dokter gigi secara tuntas, dan infeksi TBC maupun H. pylori mendapatkan terapi sesuai pedoman. Mengatasi sumber infeksi dapat menurunkan beban peradangan sistemik secara signifikan.

  1. Konsultasi Medis dan Monitoring Rutin

Beberapa obat (seperti statin, aspirin dosis rendah, atau suplemen omega-3) dapat membantu mengontrol peradangan dan melindungi pembuluh darah. Namun, segala terapi harus berdasarkan konsultasi dokter, terutama bila Anda memiliki komorbid seperti penyakit autoimun atau infeksi kronis.

Mengapa Deteksi Dini itu Penting?

Gejala peradangan kronis seringkali \”minimal\” atau tampak tidak spesifik, padahal risikonya besar terhadap penyakit jantung. Pemeriksaan penanda inflamasi (seperti hs-CRP) bisa membantu menilai tingkat risiko kardiovaskular Anda. Jika terdeteksi lebih awal, langkah-langkah pencegahan –mulai dari perbaikan gaya hidup hingga terapi medis– bisa dilakukan secepatnya sebelum peradangan merusak dinding arteri.

Kesimpulan

Peradangan kronis kerap menjadi \”aktor figuran\” yang jarang disadari, namun ternyata berperan besar dalam memperburuk kondisi kardiovaskular. Bukan hanya faktor-faktor \”klasik\” seperti rokok, obesitas, diabetes, dan stres yang menyulut api peradangan ini, tetapi juga penyakit autoimun (lupus, RA, IBD) serta infeksi kronis (periodontal, H. pylori, TBC).

Kabar baiknya, peradangan kronis bisa dikelola. Penerapan gaya hidup sehat (diet antiinflamasi, olahraga moderat, tidur cukup, mengontrol stres, berhenti merokok) merupakan fondasi utama. Bagi penderita autoimun atau infeksi kronis, terapi tepat waktu dapat memadamkan sumber utama peradangan, sehingga mengurangi dampaknya pada jantung. Selalu ingat, upaya pencegahan jauh lebih sederhana dan murah dibanding mengobati komplikasi penyakit jantung yang sudah terlanjur parah. Berikan jantung Anda kesempatan terbaik untuk tetap sehat, dimulai dari mengatasi \”api dalam sekam\” bernama peradangan kronis.

(Dr. Erta Priadi Wirawijaya, FIHA. Departemen Informasi & Komunikasi PERKI)

 

Referensi

  1. Ridker PM. (2019). Inflammation, Atherosclerosis, and Cardiovascular Risk: An Epidemiologic View. Blood Coagulation & Fibrinolysis, 30(3): 237-241.
  2. Hansson GK. (2005). Inflammation, Atherosclerosis, and Coronary Artery Disease. New England Journal of Medicine, 352: 1685-1695.
  3. Ronderos D, Jiandani N, DeVerna J, Silver RM. (2021). Cardiovascular Manifestations of Autoimmune Disease. Current Cardiology Reports, 23(6): 56.
  4. World Health Organization (WHO). (2023). Global Tuberculosis Report.
  5. American Heart Association. (2023). Inflammation and Heart Disease. Diakses melalui www.heart.org.

 


303a924d000a1c59cbe1893c9ca0d68f-1200x727.jpg

November 4, 2025 ArticleNews

Kalau bicara soal penyebab kematian perempuan, banyak yang langsung mikirnya: kanker. Atau kalau yang agak lebay –\”mati karena patah hati, dok!\” Tapi faktanya? Bukan. Pembunuh nomor satu perempuan di dunia adalah penyakit jantung. Iya, serius. Bukan kanker, bukan mantan, tapi jantung.

Secara global, lebih dari 8 juta perempuan meninggal tiap tahun karena penyakit ini. Di Indonesia? Nggak kalah menyeramkan. Banyak banget pasien perempuan yang datang konsultasi dengan kondisi jantungnya sudah rusak parah—dan parahnya lagi, sering telat ketahuan.

Kenapa bisa begitu? Karena gejala penyakit jantung pada perempuan itu sering nggak khas, nggak dramatis kayak sinetron. Kalau laki-laki kena serangan jantung biasanya dadanya nyeri banget, menjalar ke lengan kiri, terus langsung drama di IG story. Tapi kalau perempuan? Gejalanya bisa cuma lelah, pusing, mual, nyeri perut, atau sesak yang dikira \”cuma kecapekan karena begadang abis bantuin ngurus Ospek anak\”.

Sayangnya, bukan cuma pasiennya yang nggak ngeh. Tenaga medis juga kadang kecolongan. Perempuan datang dengan keluhan nyeri ulu hati, keringat bercucuran membasahi baju, seperti abis maraton 30 km, pas ke dokter, tanpa diperiksa EKG dokternya bilang, \”Lambung kali ya, makan apa tadi pagi?\” Padahal jantungnya sudah minta tolong dari seminggu yang lalu.

Belum lagi faktor hormonal. Sebelum menopause, hormon estrogen itu ibarat bodyguard-nya jantung. Tapi begitu masuk masa menopause, hormon itu ‘pensiun’, dan risiko penyakit jantung langsung melambung kayak harga cabai pas Lebaran.

Lalu gaya hidup? Waduh. Jangan ditanya. Banyak yang makanannya boba, gorengan, dan nasi uduk, tapi olahraganya jalan dari ruang tamu ke kulkas. Belum lagi sekarang, lagi senam jari scrolling TikTok, eh lihat konten makanan martabak Uenak, langsung pesan gojek. Tidurnya mepet, stresnya mepet, kolesterolnya longgar. Kombinasi maut.

Yang bikin miris, banyak perempuan yang sudah punya faktor risiko –hipertensi, diabetes, kolesterol, stres rumah tangga level Jalan-jalan ke Dufan disiang hari– tapi jarang yang rutin periksa jantung. Karena mindset-nya masih \”Ah saya baik-baik saja kok, cuma masuk angin doang ini mah.\”

Masuk angin kok sampai EKG-nya berantakan.

Sering saya temui pasien perempuan datang ke IGD dengan gejala ringan, padahal jantungnya sudah sekarat. Dan ketika sudah telanjur rusak, pemulihannya itu tidak mudah. Bukan cuma nyawa yang terancam, tapi kualitas hidupnya juga turun drastis.

Jadi buat kalian para perempuan, kalau udah mulai muncul gejala seperti lemas terus-terusan, napas pendek, nyeri ulu hati, atau gampang capek… jangan abaikan! Jangan bilang, \”Ah saya kan masih muda.\” Serangan jantung itu bukan lihat umur, tapi lihat gaya hidup dan faktor risiko. Mau usianya masih 30-an, tapi kalau tiap hari makan gorengan sambil marah-marah ke suami, tetap aja bisa kena.

Dan tolong, kalau ada gejala mencurigakan, jangan ditahan karena mikir cucian belum dilipet atau anak belum makan. Cucian bisa nunggu. Tapi jantung yang kolaps? Nggak akan nunggu.

Jadi mulai sekarang, ayo kalian lebih perhatian sama jantung sendiri. Jangan cuma perhatiin skincare dan serum glowing. Karena apa gunanya wajah glowing kalau jantungnya gelap?

Kalau kalian butuh pemeriksaan atau pengen tahu lebih lanjut soal kesehatan jantung perempuan, Silahkan hubungi Dokter Jantung kalian, untuk ngobrol, edukasi, dan tentu saja… periksa jantung, bukan periksa mantan.*

 

(Dr. Erta Priadi Wirawijaya, FIHA)


c85edfb12f026c699949b4dc03253a70.jpg

November 4, 2025 ArticleNews

Halo, dengan dr. Erta disini. Hari ini saya ingin berbagi kisah nyata… yang seperti cerita misteri. Bukan misteri pembunuhan, tapi misteri kenapa jantung seseorang bisa rusak berat –tanpa orangnya merasa ada yang salah.

Pasien saya ini, usianya baru 30-an. Masih muda, masih kuat makan tiga piring nasi uduk plus ayam goreng 3, plus tahu tempe dan telor dadar. Awalnya beliau dirawat di oleh sejawat dokter spesialis penyakit dalam karena demam, kemungkinan ada infeksi. Tapi kemudian, dokter penanggung jawab mengkonsultasikan pasien tersebut karena temuan EKG abnormal dan jantung bengkak pada ronsen dada.

Hasil EKG-nya –menunjukkan tanda yang tidak biasa. Ada gelombang Q patologis dari V1 sampai V4. Buat yang belum tahu: itu tanda bahwa jantung pernah mengalami kerusakan akibat serangan jantung. Infark miokard lama. Tapi anehnya, pasien ini nggak pernah merasakan pernah mengalaminya.

Dokter IPD-nya bilang, \”Dok, ini ada kardiomegali (jantung membesar) di ronsen dada, EKG nya seperti OMI (infark miokard lama), tapi katanya ngga ada gejala. Tolong di evaluasi apa ada kelainan jantung?\”

Jadi pasiennya langsung saya periksa. Tanya. Gali. Di Investigasi seperti detektif.

\”Pak, apa pernah sesak nafas?\”

\”Nggak, dok.\”

\”Kalau naik tangga 1 lantai apa kuat?\”

\”Ngga pernah dicoba dok, saya memilih naik lift saja\”

\”Kalau jalan jauh gimana? Apa ada kendala kalau jalan 1 km?\”

\”Kalau sejauh itu saya memilih naik motor saja dok\”

Ternyata, si Bapak ini memang nggak pernah aktivitas berat. Rumahnya satu lantai. Nggak pernah naik tangga. Di kantor naik lift. Kalau agak jauh naik motor Jadi wajar saja kalau nggak pernah merasa sesak –karena jantungnya memang nggak pernah ditantang untuk kerja keras. Hal ini sering terjadi pada pasien lansia, ada masalah jantung, tapi tidak ada keluhan karena memang aktivitas fisiknya sehari hari tidak banyak.

Terus saya tanya, \”Pernah nyeri dada?\”

\”Enggak, dok.\”

Tapi saya nggak berhenti di situ. Saya lanjutkan lagi interogasinya.

\”Apa punggungnya pernah sakit?\”

\”Oh iya, sering. Tapi dikerok istri juga sembuh.\”

\”Apa pernah mendadak keringatan sampai baju nya basah kuyup?\”

\”Pernah dok, cukup sering itu. Saya pikir cuma masuk angin saja.\”

Nah. Di sinilah petunjuk penting muncul. Ini bukan masuk angin biasa. Ini gejala serangan jantung yang tidak khas. Dan ini bisa terjadi –terutama pada empat kelompok: diabetesi, lansia, perempuan, dan… obesitas. Dan pasien saya ini? Berat badannya 120 kilogram, tingginya 160 cm. Indeks masa tubuhnya sekitar 46.8. Itu bukan gemuk biasa, itu obesitas morbid. Berat badan idealnya harusnya di kisaran 50-65 kg. Jadi dia kelebihan berat hampir satu orang dewasa.

Saya korek lagi lebih dalam.

\”Kalau pagi suka pusing nggak?\”

\”Iya, sering.\”

\”Kalau siang bawaannya ngantuk terus?\”

\”Iya, itu saya banget.\”

Kecurigaan saya makin kuat: ada obstructive sleep apnea. Gangguan tidur di mana saluran napas menutup saat tidur karena timbunan lemak di leher dan perut. Akibatnya oksigen tidak bisa masuk ke paru-paru sehingga Jantung harus kerja keras sepanjang malam karena saturasi oksigen naik turun kayak roller coaster.

Belum selesai, saya tanya:

\”Pak, giginya ada yang bolong?\”

\”Ada beberapa dok. Udah lama, tapi ngga sakit kok dok.\”

Tanda tanya besar berubah jadi tanda seru. Obesitas, sleep apnea, peradangan kronis dari gigi yang rusak, dan… satu hal terakhir.

\”Bapak merokok?\”

\”Iya.\”

BOOM.

Lengkap sudah jawaban kenapa jantungnya bermasalah. Obesitas. Gigi berlubang. Kualitas Tidur buruk karena Sleep Apnea. Aktivitas minim. Merokok. Sangat mungkin jantungnya bermasalah walau usianya masih muda.

Saya lanjutkan pemeriksaan jantung pakai echocardiography. Dan benar saja: jantungnya membesar, fraksi ejeksi hanya 25%. Padahal normal itu sekitar 55-70%. Artinya, jantungnya sekarang cuma bekerja setengah dari kapasitas normal. Bayangkan mobil yang harus naik tanjakan tapi mesinnya cuma nyala satu silinder.

Pasien ini tak pernah sadar dia punya masalah jantung. Tapi itu bukan karena jantungnya baik-baik saja. Itu karena dia nggak pernah kasih kesempatan jantungnya buat menunjukkan kelemahan. Aktivitasnya minim. Tantangannya kecil. Tapi… ancamannya? Sangat berbahaya. Pernah lihat mobil yang kelebihan beban naik disebuah tanjakan? Kalau ngga kuat bisa-bisa mobilnya mendadak mundur, atau bahkan mogok. Seperti itulah kurang lebihnya kondisi jantung bapak ini.

Saya sampaikan dengan serius, tapi juga hati-hati:

\”Pak mohon maaf, ini jantungnya nggak baik-baik saja. Fungsi jantung nya sudah terganggu, sudah lemah. Perlu dibantu dengan obat dan perubahan gaya hidup. Bapak harus jaga pola makan, harus diet. Dan perlahan berat badan nya harus turus. Target bisa turun 60 kg ya. Pelan pelan. Nanti akan dibantu oleh tim ahli gizi kami soal makanan. Bapak juga harus berhenti merokok ya. Demi jantung nya pak.\”

Dan kalian tahu, cerita seperti ini bukan sekali dua kali saya temui. Kadang keluhan yang dianggap sepele seperti punggung pegal, sering keringatan, pusing di pagi hari, ternyata adalah kode rahasia dari tubuh yang sedang sekarat perlahan.

Jadi jangan tunggu jantungnya teriak dulu. Karena kalau dia sudah teriak… kadang kita sudah terlambat menolongnya.

Kalaukalian merasa punya faktor risiko –entah berat badan berlebih, suka ngorok,gigi bolong bertahun-tahun, atau punya gaya hidup mirip patung –jangan tunggu gejalanya datang. Periksa jantung kalian. Hari ini. Bukan besok. Bukan nanti.

Dr.Erta Priadi Wirawijaya, FIHA)

 


045b0f88dfaa55ae37522a52ef7d2667-1200x727.jpg

November 4, 2025 ArticleNews

Halo semuanya, saya dr. Erta, Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah.

Kali ini kita akan membahas topik\r\nyang sering dianggap sepele padahal dampaknya bisa sangat serius ‘ngorok’.Banyak dari kita mungkin menganggap ngorok itu hal yang biasa. \”Ah, cuma suara\r\ntidur aja, dok.\” Tapi tunggu dulu. Tidak semua ngorok itu wajar. Ada jenis ngorok yang bisa menjadi pertanda gangguan tidur serius yang disebut Obstructive Sleep Apnea (OSA), yang jika\r\ndibiarkan bisa meningkatkan risiko tekanan darah tinggi, stroke, hingga\r\nserangan jantung.

OSA adalah kondisi di mana saluran napas bagian atas menyempit atau menutup berulang kali saat tidur, sehingga pernapasan berhenti selama beberapa detik –bahkan bisa lebih dari satu menit– sebelum akhirnya otak \”membangunkan\” tubuh untuk bernapas lagi. Masalahnya, kejadian ini bisa terjadi puluhan hingga ratusan kali setiap malam tanpa disadari oleh penderitanya. Yang sering sadar justru pasangannya, karena harus mendengarkan suara ngorok keras yang tiba-tiba berhenti, lalu terdengar seperti tersedak, baru lanjut ngorok lagi.

Lalu bagaimana cara membedakan mana ngorok yang masih tergolong \”biasa\” dan mana yang perlu segera diperiksa lebih lanjut? Untungnya, ada sistem sederhana yang bisa digunakan sebagai alat skrining awal, yaitu skor STOP-BANG. ni adalah akronim dari delapan pertanyaan sederhana yang bisa Anda jawab sendiri di rumah:

1. S (Snoring): Apakah Anda sering ngorok dengan suara keras?

2. T (Tired): Apakah Anda sering merasa mengantuk di siang hari, atau kelelahan meskipun merasa tidur cukup lama?

3. O (Observed): Apakah ada orang yang pernah melihat Anda berhenti bernapas saat tidur?

4. P (Pressure): Apakah Anda memiliki tekanan darah tinggi atau sedang dalam pengobatan hipertensi?

5. B (BMI): Apakah indeks massa tubuh Anda lebih dari 35?

6. A (Age): Apakah usia Anda lebih dari 50 tahun?

7. N (Neck): Apakah lingkar leher Anda lebih dari 40 cm? (ukur dibagian tengah leher, bukan di bawah dagu)

8. G (Gender): Apakah Anda laki-laki?

Jika Anda menjawab \”ya\” pada tiga atau lebih dari delapan poin di atas, maka Anda berisiko tinggi mengalami OSA dan sebaiknya segera konsultasi ke dokter atau melakukan pemeriksaan lanjutan seperti sleep study.

Bagaimana kita bisa mengenali pasangan kita berhenti napas saat tidur?

Biasanya, tanda paling mudah dikenali adalah saat ngoroknya tiba-tiba berhenti –hening selama beberapa detik– lalu disusul dengan suara seperti tercekik, mendengus keras, atau menarik napas panjang secara mendadak. Ini bisa terjadi berulang kali sepanjang malam. Pasangan yang tidur di sebelah sering kali menjadi saksi pertama dari pola ini. Jika Anda mendengar jeda napas yang berlangsung lebih dari 10 detik secara berulang, apalagi diikuti gelisah, keringat dingin, atau mengorok keras kembali setelah hening, itu tanda kuat bahwa orang tersebut mungkin mengalami sleep apnea dan sebaiknya diperiksa lebih lanjut.

Kenapa ini penting?

Karena OSA tidak hanya membuat tidur tidak nyenyak, tapi juga menyebabkan penurunan oksigen dalam darah secara berulang. Ini memberi beban besar pada jantung, bisa memicu gangguan irama jantung, memperburuk hipertensi, hingga meningkatkan risiko serangan jantung mendadak saat tidur. Saya beberapa kali menangani pasien jantung yang awalnya datang hanya dengan keluhan gampang lelah dan tekanan darah tinggi yang sulit dikontrol. Setelah ditelusuri, ternyata penyebab utamanya adalah OSA yang tidak pernah terdeteksi.

Jadi, kalau Anda sering ngorok keras, merasa capek meski sudah tidur 8 jam, atau pasangan Anda bilang Anda \”berhenti napas\” saat tidur, jangan abaikan. Gunakan skor STOP-BANG sebagai panduan awal. Karena semakin cepat OSA dikenali, semakin cepat pula penanganan yang bisa dilakukan–baik dengan perubahan gaya hidup, penggunaan alat bantu napas seperti CPAP, atau tindakan medis lainnya.

Dan satu hal lagi: jangan anggap ngorok itu cuma soal suara. Kadang suara itu adalah peringatan dari tubuh bahwa ada bahaya yang sedang mengintai diam-diam. Yuk, mulai lebih peduli dengan kualitas tidur kita. Karena tidur yang sehat, adalah pondasi jantung yang kuat. Bagikan tulisan ini pada orang terdekat Anda –terutama yang hobi ngorok– siapa tahu Anda sedang menyelamatkan nyawa mereka.

 

(dr.Erta Priadi Wirawijaya Sp.JP, Kardiolog)