5b71e3650454c18d40eae69f2b30d35b.jpeg

November 4, 2025 ArticleNews

Bantuan Hidup Dasar (BHD) adalah keterampilan yang sangat penting dan dapat menyelamatkan nyawa dalam situasi darurat seperti henti jantung mendadak. Henti jantung sendiri sebenarnya adalah kejadian yang cukup sering terjadi. American Heart Association (AHA) melaporkan bahwa diperkirakan sekitar 350.000 orang di dunia meninggal setiap tahun akibat henti jantung di luar rumah sakit. Itu berarti setiap 90 detik ada seseorang yang mengalami henti jantung.

Penyebab henti jantung sangat beragam, tergantung pada kelompok usia dan kondisi kesehatan individu. Anak-anak, misalnya, bisa mengalami henti jantung di rumah karena tersedak, tenggelam, atau tersetrum listrik. Sementara itu, pria dewasa lebih rentan mengalami henti jantung akibat serangan jantung atau gagal jantung. Kombinasi faktor seperti dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit, merokok, dan kelelahan yang diperparah dengan konsumsi obat atau suplemen yang mengandung kafein dapat menjadi penyebab terjadinya aritmia mematikan yang mengakibatkan henti jantung. Terlepas dari penyebabnya, upaya menyelamatkan nyawa melalui BHD menjadi sangat penting dan harus diberikan sesegera mungkin setelah terjadinya henti jantung mendadak.

Di Indonesia, kejadian henti jantung sering kali terjadi di tempat umum dan disaksikan oleh banyak orang. Namun, sayangnya, banyak dari mereka yang tidak melakukan BHD atau Bantuan Hidup Lanjut (BLS) sama sekali. Alih-alih memberikan pertolongan pertama, korban sering kali hanya dibawa begitu saja ke rumah sakit, yang akhirnya menyebabkan mereka tidak tertolong. Keadaan ini menunjukkan betapa pentingnya edukasi dan pelatihan BHD di kalangan masyarakat umum untuk meningkatkan respons pertolongan pertama saat terjadi henti jantung.

Kasus-Kasus Nyata di Indonesia

Contoh nyata dari kondisi ini adalah Irena Justine, seorang aktris muda berusia 22 tahun yang mendadak tidak sadar saat berada di lokasi syuting. Kejadian tersebut disaksikan oleh banyak orang, tetapi tidak ada yang melakukan BHD untuknya. Irena kemudian dibawa ke rumah sakit, namun sayangnya nyawanya tidak tertolong.

Kasus lainnya adalah Markis Kido, seorang pebulutangkis terkenal yang mendadak tidak sadarkan diri di lapangan saat sedang bermain bulu tangkis. Lagi-lagi, meskipun kejadian ini disaksikan oleh banyak orang, tidak ada yang melakukan BHD. Ketika Markis tiba di instalasi gawat darurat rumah sakit, dia sudah tidak dapat diselamatkan.

Baru-baru ini, Zhang Zie Jie mengalami henti jantung mendadak saat sedang beraktivitas dan tersungkur serta mengalami kejang-kejang di depan banyak saksi mata. Tidak ada yang melakukan BHD untuk Zhang, dan akhirnya dia juga meninggal dunia setelah tiba di rumah sakit.

Upaya untuk Merubah Kenyataan Memprihatinkan Ini

Belajar dari berbagai kasus yang telah terjadi sebelumnya, muncul pertanyaan penting: Apa yang bisa kita lakukan untuk merubah kenyataan memprihatinkan ini? Salah satu langkah awal yang sangat penting adalah meningkatkan edukasi dan pelatihan Bantuan Hidup Dasar (BHD) di kalangan masyarakat. Pemerintah dan lembaga kesehatan harus bekerja sama untuk menyediakan program pelatihan BHD yang mudah diakses oleh masyarakat umum, termasuk di sekolah-sekolah, tempat kerja, dan komunitas-komunitas lokal. Selain itu, kampanye kesadaran publik mengenai pentingnya BHD dan cara-cara praktis untuk melakukannya harus digalakkan melalui media massa dan platform digital. Dengan demikian, diharapkan semakin banyak orang yang siap memberikan pertolongan pertama saat terjadi henti jantung, sehingga dapat meningkatkan peluang korban untuk bertahan hidup.

Integrasi BHD dalam Kurikulum Sekolah

Pendidikan BHD di Usia Muda

Pada usia sekolah dasar, anak-anak mulai dapat memahami instruksi sederhana dan memiliki kemampuan motorik yang cukup baik untuk melakukan beberapa teknik dasar dalam BHD. Ini adalah periode krusial di mana pengenalan BHD dapat dilakukan dengan efektif. Anak-anak pada rentang usia ini sangat reseptif terhadap pembelajaran baru dan cenderung memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, sehingga mereka lebih mudah menyerap informasi dasar tentang pentingnya BHD. Di banyak negara maju, pengenalan BHD sudah dimulai pada tahap ini sebagai bagian dari program pendidikan kesehatan di sekolah. Ini membantu membangun fondasi keterampilan dasar yang dapat mereka kembangkan seiring bertambahnya usia.

Program pendidikan BHD untuk anak-anak usia sekolah dasar biasanya mencakup beberapa komponen utama. Pertama, anak-anak diajarkan tentang pentingnya BHD dan bagaimana teknik-teknik dasar ini dapat menyelamatkan nyawa dalam situasi darurat. Mereka juga belajar mengenali tanda-tanda keadaan darurat, seperti seseorang yang tidak responsif atau kesulitan bernapas. Selain itu, mereka diberikan pengetahuan tentang cara meminta bantuan kepada orang dewasa atau petugas kesehatan dengan benar. Semua ini disampaikan melalui metode yang interaktif dan menyenangkan, seperti permainan peran, video edukatif, dan demonstrasi praktis, sehingga anak-anak tidak hanya mengerti teori, tetapi juga siap untuk menerapkan keterampilan tersebut dalam situasi nyata.

Pendidikan BHD di Usia Remaja

Remaja adalah kelompok usia yang sangat ideal untuk diajarkan BHD secara lebih mendalam. Pada usia 13-18 tahun, kemampuan kognitif dan fisik remaja sudah lebih matang, sehingga mereka dapat mempelajari dan melakukan teknik-teknik BHD dengan lebih baik dan akurat. Remaja memiliki kemampuan berpikir kritis yang lebih berkembang, yang memungkinkan mereka memahami lebih dalam tentang anatomi tubuh manusia, fungsi-fungsi vital, dan mekanisme BHD. Ini membuat mereka tidak hanya mampu mengikuti prosedur BHD, tetapi juga memahami logika di balik setiap langkah, yang penting untuk respons cepat dan tepat dalam situasi darurat.

Selain itu, remaja sering berada dalam situasi sosial yang memungkinkan mereka untuk memberikan pertolongan pertama kepada teman sebayanya atau orang lain di sekitar mereka. Mereka aktif dalam berbagai kegiatan seperti olahraga, kegiatan ekstrakurikuler, dan acara sosial, di mana risiko kecelakaan atau keadaan darurat medis lebih tinggi. Kemampuan untuk melakukan BHD memberikan mereka alat penting untuk bertindak sebagai penyelamat dalam situasi-situasi tersebut. Pengajaran BHD kepada remaja juga membangun rasa tanggung jawab sosial dan kepercayaan diri, karena mereka tahu bahwa mereka memiliki keterampilan yang dapat menyelamatkan nyawa orang lain. Ini tidak hanya meningkatkan keselamatan komunitas secara keseluruhan, tetapi juga membentuk generasi muda yang lebih peduli dan siap membantu.

Contoh Implementasi di Negara Lain

  1. Singapura

Di Singapura, BHD diajarkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan kesehatan di sekolah-sekolah. Program ini dikenal dengan nama \”Life Saving Skills Programme\” dan dimulai sejak sekolah dasar. Siswa diajarkan keterampilan dasar seperti resusitasi jantung paru (CPR) dan penggunaan Automated External Defibrillator (AED). Pemerintah Singapura juga mendukung program ini dengan menyediakan pelatihan bagi guru dan fasilitas yang memadai untuk praktik siswa. Selain itu, kolaborasi dengan Singapore Red Cross Society dan Singapore Heart Foundation memastikan bahwa pelatihan ini selalu mutakhir dan relevan.

  1. Korea Selatan

Di Korea Selatan, pelatihan BHD dimulai dari sekolah menengah pertama dan berlanjut hingga sekolah menengah atas. Kurikulum ini mencakup teori dan praktik BHD yang komprehensif, termasuk teknik CPR, penanganan korban tersedak, dan penanganan situasi darurat lainnya. Pemerintah Korea Selatan telah menetapkan standar nasional untuk pelatihan BHD di sekolah, yang harus diikuti oleh semua institusi pendidikan. Selain itu, Korea Selatan juga mengadakan kompetisi tahunan di mana siswa dapat menunjukkan keterampilan BHD mereka, sehingga meningkatkan motivasi dan partisipasi.

  1. Australia

Australia merupakan salah satu negara yang sangat serius dalam mengimplementasikan pelatihan BHD di sekolah. Pelatihan ini dimulai sejak usia dini, dengan program yang dirancang oleh Australian Resuscitation Council. Siswa diajarkan keterampilan dasar seperti CPR, penggunaan AED, dan cara menangani korban kecelakaan. Pelatihan ini sering kali melibatkan sesi praktikum menggunakan manikin dan simulasi situasi darurat. Pemerintah Australia juga memastikan bahwa setiap sekolah memiliki akses ke instruktur bersertifikat dan peralatan pelatihan yang diperlukan.

  1. Jepang

Di Jepang, pendidikan BHD dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah melalui program pendidikan keselamatan. Program ini dimulai dari tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Siswa diajarkan tentang pentingnya BHD, teknik-teknik dasar, dan bagaimana bertindak cepat dalam keadaan darurat. Pemerintah Jepang bekerja sama dengan berbagai organisasi kesehatan untuk memberikan pelatihan kepada guru dan memastikan bahwa setiap sekolah memiliki fasilitas yang memadai untuk pelatihan BHD. Selain itu, Jepang juga memiliki program \”Disaster Preparedness Education\” yang mencakup pelatihan BHD sebagai bagian dari persiapan menghadapi bencana alam.

PP/UU Keselamatan Publik

Selain mengintegrasikannya ke dalam kurikulum di sekolah, pemerintah juga perlu membuat serangkaian kebijakan yang bersifat wajib untuk fasilitas publik. Melalui Peraturan Pemerintah atau Undang-Undang Keselamatan Publik, pemerintah bisa mewajibkan agar daerah berisiko tinggi seperti mall, gym, gelanggang olahraga, dan sekolah menyediakan Automated External Defibrillator (AED). Kebijakan ini penting untuk memastikan bahwa pertolongan pertama bisa diberikan secara cepat dan efektif saat terjadi henti jantung mendadak di tempat-tempat tersebut.

Mall, gym, dan gelanggang olahraga adalah beberapa contoh tempat yang sering dikunjungi oleh banyak orang dan berpotensi tinggi terjadi henti jantung mendadak. Oleh karena itu, penting bagi tempat-tempat ini untuk dilengkapi dengan AED dan petugas yang terlatih dalam penggunaannya. Pemerintah dapat mewajibkan setiap fasilitas ini untuk memiliki setidaknya satu AED yang mudah diakses. Selain itu, pelatihan rutin untuk staf dan pengunjung tentang cara menggunakan AED dan memberikan BHD juga harus diadakan secara berkala. Dengan adanya kebijakan ini, diharapkan setiap orang di fasilitas tersebut dapat memberikan pertolongan pertama yang tepat sebelum tenaga medis tiba, sehingga meningkatkan peluang korban untuk bertahan hidup.

Sekolah juga harus menjadi fokus utama dalam penerapan kebijakan penyediaan AED. Setiap sekolah, baik itu sekolah dasar, menengah, atau perguruan tinggi, perlu dilengkapi dengan AED yang ditempatkan di lokasi strategis yang mudah diakses. Guru, staf sekolah, dan bahkan siswa harus diberikan pelatihan tentang cara menggunakan AED dan melakukan BHD. Mengingat waktu respon yang cepat sangat penting dalam kasus henti jantung, keberadaan AED di sekolah dapat menjadi penentu dalam menyelamatkan nyawa siswa, guru, atau staf sekolah yang mengalami henti jantung mendadak. Pemerintah dapat memberikan insentif atau bantuan dana bagi sekolah-sekolah untuk membeli dan memelihara AED, serta mengadakan pelatihan yang diperlukan.

Kesimpulan

Mengajarkan BHD sejak dini dan mengintegrasikannya ke dalam kurikulum sekolah adalah langkah penting dalam membangun generasi yang siap menyelamatkan nyawa. Contoh dari negara-negara maju menunjukkan bahwa pelatihan BHD yang efektif dapat meningkatkan kesiapsiagaan dan respons masyarakat terhadap situasi darurat. Selain itu, kebijakan pemerintah yang mewajibkan penyediaan AED di fasilitas publik seperti mall, gym, gelanggang olahraga, dan sekolah dapat meningkatkan peluang penyelamatan nyawa dalam kasus henti jantung mendadak. Dengan pendekatan yang komprehensif ini, diharapkan angka kematian akibat henti jantung dapat dikurangi secara signifikan, menciptakan lingkungan yang lebih aman dan sehat bagi semua.

 

(Dr. Erta Priadi Wirawijaya, FIHA. Departemen Informasi & Komunikasi PERKI)


8dc795ead15c785214d508631a0ec7b9.jpeg

November 4, 2025 News

Hari ini adalah momen yang tepat untuk mengingatkan diri kita betapa pentingnya menjaga kesehatan, baik fisik maupun mental. Kesehatan adalah aset yang tak ternilai, investasi yang terbesar yang bisa kita miliki. Di tengah aktivitas yang semakin padat, penting bagi kita untuk selalu menjaga gaya hidup sehat. Mulai dari pola makan yang baik, berolahraga secara teratur, hingga cukup tidur, semua ini adalah bagian dari upaya untuk menjaga tubuh tetap bugar dan terhindar dari penyakit.

Penyakit jantung adalah salah satu ancaman terbesar bagi kesehatan masyarakat Indonesia saat ini. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, penyakit jantung dan pembuluh darah menjadi penyebab kematian terbesar di negara ini. Ironisnya, banyak masyarakat yang kurang menyadari pentingnya pencegahan penyakit ini sejak dini. Ketika gejala-gejala mulai muncul, sering kali penyakit sudah dalam tahap yang cukup parah, membutuhkan perawatan medis yang intensif dan mahal. Kesadaran untuk menjaga kesehatan jantung harus ditingkatkan, mulai dari keluarga hingga komunitas.

Beban utama Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) saat ini adalah penyakit jantung dan pembuluh darah. BPJS Kesehatan mencatat bahwa biaya yang dikeluarkan untuk menjamin penyakit jantung pada tahun 2023 mencapai Rp23,52 triliun per 31 Desember 2023. Jumlah ini naik lebih dari 90% dibandingkan tahun sebelumnya. Menandakan bahwa penyakit jantung menjadi beban finansial yang besar bagi sistem kesehatan nasional. Hal ini menunjukkan betapa besar dampak dari gaya hidup yang tidak sehat dan kurangnya upaya preventif.

Biaya besar yang dikeluarkan oleh BPJS ini merupakan pengingat bahwa kita semua harus berperan aktif dalam upaya pencegahan. Jika tidak dilakukan tindakan preventif secara masif, keuangan BPJS akan terus terbebani, dan dampaknya akan dirasakan oleh seluruh masyarakat. Kita perlu bergerak bersama dalam mewujudkan masyarakat yang sehat, di mana penyakit-penyakit yang seharusnya bisa dicegah dapat diminimalisir.

Upaya preventif yang dapat dilakukan adalah melalui pencegahan primer dan sekunder. Pencegahan primer berfokus pada upaya menghindari munculnya penyakit, misalnya dengan kampanye pola hidup sehat dan pemeriksaan kesehatan rutin. Pencegahan sekunder berfokus pada deteksi dini dan penanganan segera jika ada tanda-tanda awal penyakit jantung. Kedua jenis upaya ini sangat penting untuk menurunkan angka kejadian penyakit jantung di Indonesia.

Sebagai bagian dari upaya preventif, kita perlu meningkatkan literasi kesehatan masyarakat. Banyak orang belum memahami bahaya dari gaya hidup tidak sehat, seperti konsumsi makanan berlemak tinggi, kebiasaan merokok, dan kurangnya aktivitas fisik. Padahal, semua faktor tersebut merupakan pemicu utama penyakit jantung. Literasi kesehatan yang baik akan membantu masyarakat memahami risiko-risiko ini dan membuat perubahan positif dalam gaya hidup mereka.

Selain itu, edukasi tentang pentingnya pemeriksaan kesehatan rutin juga harus digalakkan. Banyak orang yang merasa sehat-sehat saja dan enggan memeriksakan kesehatannya, padahal pemeriksaan rutin bisa mendeteksi risiko penyakit lebih awal. Pemerintah dan berbagai pihak terkait perlu terus melakukan sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala.

Dalam hal ini, peran keluarga sangat penting. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat, namun berperan besar dalam mendukung pola hidup sehat. Orang tua bisa menjadi contoh yang baik bagi anak-anak dengan mengajarkan pentingnya menjaga kesehatan jantung sejak dini. Jika kita semua memulai dari diri sendiri dan keluarga, kita bisa menciptakan lingkungan yang lebih sehat.

Di sisi lain, pemerintah juga berperan penting dalam menyediakan fasilitas kesehatan yang memadai dan terjangkau. Akses terhadap layanan kesehatan yang berkualitas merupakan hak semua warga negara. Dengan fasilitas yang baik, masyarakat akan lebih mudah dalam mendapatkan perawatan dan pemeriksaan kesehatan yang dibutuhkan. Selain itu, program-program seperti subsidi bagi obat-obatan dan alat-alat kesehatan untuk penyakit jantung juga bisa sangat membantu.

Tidak hanya itu, institusi pendidikan juga dapat berperan besar dalam membentuk generasi yang sadar akan pentingnya menjaga kesehatan sejak dini. Salah satu langkah konkret yang bisa diambil adalah dengan memasukkan pendidikan kesehatan jantung dan pelatihan Resusitasi Jantung Paru (RJP atau CPR) ke dalam kurikulum sekolah. Pendidikan kesehatan jantung di usia dini dapat memberikan pengetahuan tentang gaya hidup sehat, risiko penyakit jantung, dan cara-cara sederhana untuk menjaga kesehatan tubuh. Dengan ini, anak-anak sudah memahami sejak kecil bahwa pola hidup sehat merupakan bagian penting dalam kehidupan sehari-hari.

Selain itu, pelatihan CPR di sekolah akan memberikan kemampuan dasar yang dapat menyelamatkan nyawa. Anak-anak dan remaja yang memiliki pengetahuan dan keterampilan CPR akan siap membantu dalam keadaan darurat, baik untuk keluarga, teman, atau masyarakat sekitar. Banyak negara yang sudah menerapkan pelatihan CPR di sekolah sebagai upaya preventif menghadapi serangan jantung mendadak, dan ini terbukti efektif dalam meningkatkan angka keberhasilan penyelamatan sebelum bantuan medis datang.

Jika pendidikan kesehatan jantung dan pelatihan CPR diterapkan di sekolah-sekolah di Indonesia, generasi muda tidak hanya akan tumbuh dengan kesadaran akan pentingnya kesehatan, tetapi juga akan memiliki kemampuan untuk mengambil tindakan yang tepat dalam situasi darurat. Dengan ini, diharapkan angka kejadian dan kematian akibat penyakit jantung di masa depan bisa ditekan, dan masyarakat Indonesia akan menjadi lebih sehat dan tanggap dalam menghadapi situasi darurat.

Seluruh elemen masyarakat perlu bersinergi dalam upaya pencegahan ini. Institusi pemerintah, organisasi masyarakat, perusahaan, hingga individu bisa bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang mendukung gaya hidup sehat. Misalnya, perusahaan bisa menyediakan program kesehatan untuk karyawannya, seperti fasilitas olahraga dan kampanye hidup sehat di tempat kerja.

Tentu saja, perubahan tidak bisa terjadi dalam semalam. Dibutuhkan komitmen dan kerja keras dari semua pihak untuk mewujudkan masyarakat yang lebih sehat. Namun, jika kita semua mau berkomitmen untuk menjaga kesehatan, niscaya angka kejadian penyakit jantung di Indonesia bisa ditekan, dan masyarakat Indonesia akan hidup lebih sehat dan produktif.

Sebagai masyarakat yang peduli, kita juga bisa saling mengingatkan untuk tetap menjaga kesehatan. Dengan saling dukung dan peduli, kita akan lebih mudah menjalani pola hidup sehat. Mari kita jadikan Hari Kesehatan Nasional ini sebagai momentum untuk memulai gaya hidup sehat dan terus peduli akan kesehatan diri serta orang di sekitar kita.*


b9a982de119156ac71c8733548f210bb.jpeg

November 4, 2025 ArticleNews

Siapa sangka, obat yang awalnya dirancang \”hanya\” untuk menurunkan gula darah ternyata juga bisa memberikan perlindungan bagi jantung? Inilah cerita menakjubkan di balik golongan SGLT2 inhibito –pil yang semula dianggap revolusioner dalam menangani diabetes tipe 2, namun belakangan justru banyak digunakan oleh para dokter jantung. Bayangkan seperti menemukan \”bonus tersembunyi\” di dalam paket belanja: niatnya beli obat antidiabetes, tapi dapat pula manfaat ekstra untuk mencegah gagal jantung dan mengurangi risiko kematian kardiovaskular. Sebuah terobosan yang mengubah peta permainan di dunia medis dan menghadirkan angin segar bagi jutaan pasien!

Apa itu SGLT2 Inhibitor?

SGLT2 (Sodium-Glucose Cotransporter 2) adalah protein yang ada di ginjal, bertugas menyerap kembali glukosa dari urin ke dalam darah. Jika diibaratkan, dia seperti \”penjaga gerbang\” yang memastikan tidak ada gula yang terbuang sia-sia. Tetapi pada kondisi diabetes tipe 2, tubuh kita kebanyakan gula. Nah, SGLT2 inhibitor (misalnya dapagliflozin, empagliflozin, canagliflozin, dan ertugliflozin) bekerja menghambat si \”penjaga gerbang\” ini supaya sebagian gula \”dibuang\” lewat urin. Hasilnya? Kadar gula darah menurun, dan pasien diabetes bisa lebih terkontrol gula darahnya.

Sejak pertama kali diluncurkan, SGLT2 inhibitor sudah menjadi \”senjata baru\” dalam terapi diabetes, karena mekanismenya unik –mengurangi gula darah dengan cara \”buang gula\” lewat kencing. Jauh beda dari obat antidiabetes lama yang kebanyakan bekerja memengaruhi produksi insulin di pankreas atau sensitivitas tubuh terhadap insulin. Singkat cerita, SGLT2 inhibitor menawarkan pendekatan segar dalam tata laksana diabetes.

 

Kejutan di Dunia Medis: Manfaat Buat Jantung

Nah, kejutan muncul ketika para ilmuwan menemukan bahwa pasien diabetes yang memakai SGLT2 inhibitor ternyata memiliki risiko lebih rendah terkena gagal jantung dan komplikasi kardiovaskular. Lo, kok bisa? Rupanya, efek dari SGLT2 inhibitor tak berhenti pada penurunan gula darah saja. Efeknya yang bagus untuk jantung antara lain:

  1. Menurunkan Volume Cairan Berlebih

Dengan membuang gula, secara otomatis obat ini juga membuat tubuh mengeluarkan lebih banyak cairan (karena gula menarik air). Ini berkontribusi pada pengurangan beban volume pada jantung dan pembuluh darah, sehingga membantu mengatasi kondisi seperti gagal jantung.

  1. Menurunkan Tekanan Darah

Efek diuretik ringan yang dimiliki SGLT2 inhibitor, plus penurunan beban sirkulasi, cenderung membuat tekanan darah ikut turun –ibarat membuang \”kelebihan muatan\” yang kerap memberatkan kinerja jantung.

  1. Perbaikan Metabolik

Selain mengendalikan gula darah, SGLT2 inhibitor juga berdampak positif pada berat badan dan profil lipid (lemak darah), walau tidak sedramatis obat penurun berat badan lain seperti GLP-1 agonis. Tetap saja, penurunan berat badan sedikit pun dapat membantu meringankan kerja jantung.

Penemuan ini seolah memberi \”dua manfaat dalam satu obat.\” Awalnya hanya untuk diabetes, eh ternyata menyelamatkan jantung juga. Ibarat Anda beli nasi padang, tiba-tiba dapat bonus teh es manis gratis –bahagia banget, kan?

Bukti Ilmiah di Balik Kehebatan SGLT2 Inhibitor

Tentu, kedokteran bukan soal \”katanya\” atau \”konon kabarnya.\” Para ahli butuh bukti dari uji klinis berskala besar. Beberapa penelitian penting yang mendukung penggunaan SGLT2 inhibitor untuk jantung, antara lain:

 

  1. EMPA-REG OUTCOME (2015)

Penelitian ini meneliti empagliflozin pada pasien diabetes tipe 2 dengan risiko kardiovaskular tinggi. Hasilnya? Empagliflozin secara signifikan menurunkan risiko kematian kardiovaskular dan hospitalisasi akibat gagal jantung. (Zinman B, dkk., 2015, New England Journal of Medicine)

  1. DAPA-HF (2019)

Studi ini khusus meneliti dapagliflozin pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi berkurang (HFrEF), baik yang diabetes maupun tidak. Hebatnya, dapagliflozin mampu menurunkan angka rawat inap gagal jantung dan kematian kardiovaskular. (McMurray JJV, dkk., 2019, New England Journal of Medicine)

  1. EMPEROR-Reduced (2020)

Masih dengan empagliflozin, studi ini menegaskan kembali manfaat yang sama pada pasien HFrEF, terlepas dari status diabetes mereka. (Packer M, dkk., 2020, New England Journal of Medicine)

Penelitian-penelitian inilah yang akhirnya memicu perubahan signifikan dalam pedoman (guideline) kardiologi. Dahulu, dokter jantung belum terpikir memasukkan SGLT2 inhibitor sebagai terapi utama gagal jantung. Sekarang, SGLT2 inhibitor malah menjadi \”pemain inti\” yang direkomendasikan oleh European Society of Cardiology (ESC) dan American Heart Association (AHA) untuk pasien HFrEF.

 

Pemanfaatan pada Berbagai Tipe Gagal Jantung

Tahukah Anda bahwa gagal jantung sendiri ada macam-macam tipenya? Yang paling umum dibicarakan adalah:

  1. Gagal Jantung dengan Fraksi Ejeksi Berkurang (HFrEF)

Di sini, jantung sulit memompa darah dengan kuat (fraksi ejeksi <40%). Berkat uji klinis seperti DAPA-HF dan EMPEROR-Reduced, kini SGLT2 inhibitor telah resmi menjadi salah satu opsi terapi andalan.

  1. Gagal Jantung dengan Fraksi Ejeksi Terpertahankan (HFpEF)

Pada tipe ini (fraksi ejeksi >=50%), jantung masih cukup kuat berkontraksi, tetapi kaku (tidak elastis) saat relaksasi. Studi terbaru juga menyebutkan bahwa beberapa SGLT2 inhibitor bermanfaat dan member secercah harapan bagi pasien yang sebelumnya minim opsi pengobatan efektif.

Singkatnya, SGLT2 inhibitor tidak hanya untuk pasien diabetes. Bahkan, pasien gagal jantung tanpa diabetes pun bisa merasakan manfaatnya. Istilah gaulnya, \”all-in-one package!\”

 

Pertimbangan dan Efek Samping

Tentu, tidak ada obat yang \”sempurna.\” Beberapa efek samping SGLT2 inhibitor yang paling umum antara lain:

  1. Infeksi Saluran Kemih dan Genital

Karena banyak gula \”terbuang\” melalui urin, area saluran kemih menjadi lebih \”manis\”, sehingga lebih rentan infeksi jamur atau bakteri.

  1. Penurunan Tekanan Darah Berlebihan (Hipotensi)

Efek diuretik ringan bisa membuat tekanan darah turun drastis pada beberapa orang, terutama mereka yang sudah minum obat penurun tekanan darah lain.

  1. Euglycemic Diabetic Ketoacidosis (eDKA)

Ini kasus langka tapi serius: terjadi ketoasidosis (asam berlebih dalam darah) meski kadar gula darah tidak terlalu tinggi. Biasanya muncul pada pasien diabetes tipe 1 atau kondisi tertentu yang memicu dehidrasi.

Sebagai dokter, tentu kami harus menilai kondisi pasien secara menyeluruh –termasuk fungsi ginjal, tekanan darah, dan risiko infeksi– sebelum meresepkan SGLT2 inhibitor. Pasien juga perlu diedukasi tentang tanda-tanda infeksi saluran kemih dan anjuran minum air putih cukup.

 

Tips Bagi Pasien

  1. Konsultasi Terlebih Dahulu

Meski terdengar menggiurkan, SGLT2 inhibitor bukan \”obat sembarangan.\” Pastikan Anda berkonsultasi dengan dokter untuk penilaian kondisi jantung, gula darah, serta fungsi ginjal.

  1. Tetap Jaga Pola Hidup Sehat

Obat saja tidak cukup. Pola makan seimbang (rendah gula, rendah garam, dan kaya serat), aktivitas fisik teratur (sebisa mungkin, misalnya jalan kaki 30 menit), serta manajemen stres tetap menjadi \”pondasi\” kesehatan jantung dan metabolisme.

  1. Pemantauan Rutin

Jangan lupa cek tekanan darah, kadar gula darah, dan berat badan secara berkala. Kadang, dengan obat ini, penurunan berat badan bisa terjadi, yang tentu akan menguntungkan bagi pasien gagal jantung obesitas. Namun, pemantauan berkala penting untuk mendeteksi efek samping sejak dini.

Kesimpulan

Cerita tentang \”obat diabetes yang akhirnya jadi obat jantung\” adalah bukti bahwa ilmu kedokteran selalu berkembang. SGLT2 inhibitor sudah membuktikan diri tak hanya membantu menurunkan gula darah, tetapi juga menurunkan risiko gagal jantung dan kematian kardiovaskular –bahkan pada pasien tanpa diabetes. Ini ibarat superhero yang semula hanya bertarung di satu \”wilayah,\” tiba-tiba menyelamatkan beberapa \”kota\” sekaligus!

Meski begitu, perlu diingat bahwa setiap obat punya \”syarat dan ketentuan\” yang harus dipenuhi. Efek samping, kontraindikasi, dan biaya obat menjadi faktor penting dalam pengambilan keputusan. Karena itu, diskusikan selalu dengan dokter, dan jangan lupa jalani gaya hidup sehat. Ingatlah, kesehatan jantung Anda bukanlah sesuatu yang bisa dikompromikan.

Jadi, jangan kaget kalau suatu hari dokter Anda menyarankan obat \”buang gula\” –walaupun Anda bukan penderita diabetes! Itu artinya, sains dan teknologi sudah membuktikan, jantung Anda layak mendapatkan perlindungan terbaik.

(Dr. Erta Priadi Wirawijaya, FIHA. Departemen Informasi & Komunikasi PERKI)

 

Referensi

  1. Zinman B, Wanner C, Lachin JM, et al. (2015). Empagliflozin, Cardiovascular Outcomes, and Mortality in Type 2 Diabetes. New England Journal of Medicine, 373: 2117-2128.
  2. McMurray JJV, Solomon SD, Inzucchi SE, et al. (2019). Dapagliflozin in Patients with Heart Failure and Reduced Ejection Fraction. New England Journal of Medicine, 381: 1995-2008.
  3. Packer M, Anker SD, Butler J, et al. (2020). Cardiovascular and Renal Outcomes with Empagliflozin in Heart Failure. New England Journal of Medicine, 383: 1413-1424.
  4. American Heart Association. (2023). Heart Failure Treatment Guidelines. Diakses melalui www.heart.org.

 


78dd2d628eddbef1228373b168c7be34.jpeg

November 4, 2025 ArticleNews

Ketika kita membahas penyakit jantung, mungkin pikiran langsung melayang ke kolesterol tinggi, kebiasaan merokok, atau tekanan darah yang tak terkontrol. Namun, tahukah Anda bahwa ada satu elemen \”samar\” yang sering terabaikan, padahal diam-diam bekerja merusak sistem kardiovaskular kita? Yup, itulah peradangan kronis –musuh dalam selimut yang bisa mengacaukan jantung dan pembuluh darah secara perlahan tapi pasti. Bayangkan seperti api kecil di pojokan, dibiarkan menyala, lama-lama bisa membakar seluruh rumah!

Apa Itu Peradangan Kronis?

Peradangan kronis adalah respon imun yang berlangsung terus-menerus dalam tubuh. Di satu sisi, sistem imun memang dirancang untuk melawan infeksi dan memperbaiki kerusakan jaringan. Namun, jika peradangan ini tidak berhenti –misalnya karena gaya hidup tidak sehat, obesitas, atau stres berkepanjangan–  maka sistem imun akan terus \”menembakkan peluru\” ke jaringan sehat, termasuk dinding pembuluh darah.

Dalam kondisi normal, peradangan sesaat (akut) berguna untuk proses penyembuhan –seperti saat kita terantuk meja dan lutut memar, tubuh akan mengirim \”tim penyelamat\” untuk memperbaiki kerusakan. Tapi lain cerita jika peradangan ini berubah menjadi kronis: efeknya tidak lagi membantu, melainkan merusak sel-sel di tubuh, termasuk sel endotel di pembuluh darah kita.

Mengapa Peradangan Kronis Mengancam Jantung?

  1. Memicu Pembentukan Plak Aterosklerosis

Salah satu \”pemain utama\” dalam penyakit jantung koroner adalah plak aterosklerosis, yang terbentuk di dinding arteri. Prosesnya mirip adukan semen yang menempel di tembok, semakin lama semakin menebal. Peradangan kronis mempercepat pembentukan plak ini. Zat-zat kimia proinflamasi (seperti sitokin) akan memperburuk kerusakan endotel, membuat kolesterol jahat (LDL) lebih mudah menempel, dan meningkatkan migrasi sel otot polos ke area yang rusak. Akhirnya, pembuluh darah kian menyempit.

  1. Destabilisasi Plak

Tidak hanya membuat plak tumbuh lebih cepat, peradangan kronis juga bisa membuat plak lebih \”gampang pecah\” Ketika plak pecah, terbentuklah gumpalan darah (trombus) yang bisa menyumbat arteri koronaria dan menyebabkan serangan jantung. Ibarat balon yang terus ditiup hingga meletus –hasilnya bencana bagi jantung.

  1. Gangguan Fungsi Pembuluh Darah

Pembuluh darah sehat mampu melebar dan menyempit sesuai kebutuhan tubuh. Namun, jika peradangan telah merusak dinding pembuluh darah, kemampuannya untuk relaksasi menurun –muncullah kekakuan yang membuat tekanan darah cenderung naik. Peningkatan tekanan darah dalam jangka panjang membebani jantung, berkontribusi pada risiko gagal jantung.

  1. Merusak Keseimbangan Metabolik

Peradangan kronis berhubungan erat dengan resistensi insulin, obesitas, dan diabetes tipe 2. Kita tahu ketiga masalah tersebut adalah \”gerbang utama\” menuju gangguan jantung. Jadi, bisa dibilang, peradangan kronis ini adalah satu \”benang merah\” yang mengaitkan berbagai faktor risiko kardiometabolik.

Tanda-Tanda Peradangan Kronis

Memang tidak semudah memeriksa kadar kolesterol atau tekanan darah. Peradangan kronis sering tidak menimbulkan gejala spesifik. Namun, beberapa tanda berikut dapat menjadi \”lampu kuning\”:

  1. Nyeri sendi berkepanjangan tanpa sebab jelas.
  2. Kelelahan terus-menerus.
  3. Gangguan pencernaan berulang.
  4. Berat badan tidak stabil.
  5. Sering sakit kepala atau migrain.

Tentu, tanda-tanda ini tidak otomatis berarti Anda pasti mengalami peradangan kronis. Meski begitu, tetap penting memeriksakan diri jika keluhan berulang dan tak kunjung hilang.

Siapa yang Berisiko?

  1. Perokok

Zat kimia dalam rokok bukan hanya merusak paru-paru, tapi juga memicu reaksi peradangan pada dinding pembuluh darah. Ibarat \”asap beracun\” yang menyerang dari berbagai arah, kebiasaan merokok memperbesar risiko munculnya plak aterosklerosis di arteri.

  1. Penderita Obesitas

Jaringan lemak, terutama lemak visceral, aktif memproduksi sitokin proinflamasi (seperti TNF-a dan Interleukin-6) yang memperburuk peradangan sistemik. Tak heran jika obesitas kerap dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit jantung, diabetes, dan hipertensi.

  1. Pengidap Diabetes

Kadar gula darah tinggi pada penderita diabetes dapat merusak sel endotel (lapisan dalam pembuluh darah), memicu peningkatan mediator inflamasi. Semakin sulit kadar gula darah dikontrol, semakin tinggi pula peradangan yang terjadi.

  1. Orang dengan Stres Kronis

Hormon stres (kortisol) yang terproduksi terus-menerus dapat memengaruhi keseimbangan sistem imun, sehingga memicu peradangan yang berlangsung lama. Stres kronis juga sering mengarah pada kebiasaan tak sehat, seperti pola makan berlebihan atau merokok.

  1. Penderita Penyakit Autoimun

Penyakit autoimun seperti Lupus, Rheumatoid Arthritis (RA), dan Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah contoh situasi di mana sistem kekebalan tubuh justru menyerang sel-sel sehat. Proses ini menyebabkan peradangan kronis, yang pada gilirannya dapat memicu atau memperburuk kerusakan pembuluh darah. Beberapa studi menunjukkan bahwa penderita lupus atau RA memiliki risiko lebih tinggi terkena penyakit jantung koroner karena peradangan yang terus-menerus.

  1. Infeksi Kronis

Infeksi yang tidak teratasi dengan baik dapat berkembang menjadi peradangan jangka panjang. Misalnya, infeksi periodontal (radang gusi menahun) dapat melepaskan bakteri dan toksinnya ke dalam sirkulasi darah, menyebabkan peradangan sistemik. Kemudian, infeksi Helicobacter pylori (H. pylori) di lambung, jika berlangsung kronis, juga bisa meningkatkan produksi mediator inflamasi. Di Indonesia, tuberkulosis (TBC) kronis pun masih menjadi tantangan besar; proses infeksi yang lama dapat menimbulkan peradangan berkepanjangan dan membebani tubuh secara keseluruhan, termasuk sistem kardiovaskular.

Mengendalikan Peradangan untuk Mencegah Penyakit Jantung

  1. Pola Makan Antiinflamasi

Makanan kaya antioksidan dan asam lemak sehat (seperti ikan berlemak, buah-buahan, sayuran berwarna-warni, serta kacang-kacangan) membantu meredakan peradangan. Batasi gula, garam, dan lemak trans yang menjadi \”bahan bakar\” bagi api peradangan.

  1. Olahraga Teratur

Aktivitas fisik moderat –contohnya jalan kaki 30 menit sehari, berenang, atau bersepeda–dapat menurunkan kadar penanda inflamasi dalam darah (misalnya CRP/ C-reactive protein). Meski demikian, hindari olahraga berlebihan yang justru dapat memicu stres fisik tambahan.

  1. Kontrol Stres

Stres kronis memicu lonjakan hormon kortisol yang bisa memicu peradangan. Teknik relaksasi, meditasi, yoga, atau sekadar meluangkan waktu untuk hobi dapat menormalkan kembali respons tubuh terhadap stres.

  1. Tidur Berkualitas

Kurang tidur mengganggu kerja sistem imun. Berusaha tidur 7-8 jam per malam membantu tubuh melakukan \”reparasi\” dan meminimalkan pelepasan sitokin proinflamasi.

  1. Berhenti Merokok

Selain merusak paru-paru, kebiasaan merokok juga memicu peradangan dan merusak dinding pembuluh darah. Berhenti merokok adalah salah satu cara paling efektif untuk menurunkan risiko penyakit kardiovaskular.

  1. Penanganan Khusus untuk Penyakit Autoimun dan Infeksi Kronis

– Penyakit Autoimun: Konsultasikan ke dokter spesialis untuk terapi yang menekan aktivitas berlebih sistem imun (misalnya penggunaan obat antirematik pemodifikasi penyakit/DMARD, kortikosteroid, atau terapi biologis). Manajemen yang baik tak hanya meringankan gejala, tetapi juga menekan peradangan yang merugikan jantung.

– Infeksi Kronis: Pastikan infeksi periodontal ditangani oleh dokter gigi secara tuntas, dan infeksi TBC maupun H. pylori mendapatkan terapi sesuai pedoman. Mengatasi sumber infeksi dapat menurunkan beban peradangan sistemik secara signifikan.

  1. Konsultasi Medis dan Monitoring Rutin

Beberapa obat (seperti statin, aspirin dosis rendah, atau suplemen omega-3) dapat membantu mengontrol peradangan dan melindungi pembuluh darah. Namun, segala terapi harus berdasarkan konsultasi dokter, terutama bila Anda memiliki komorbid seperti penyakit autoimun atau infeksi kronis.

Mengapa Deteksi Dini itu Penting?

Gejala peradangan kronis seringkali \”minimal\” atau tampak tidak spesifik, padahal risikonya besar terhadap penyakit jantung. Pemeriksaan penanda inflamasi (seperti hs-CRP) bisa membantu menilai tingkat risiko kardiovaskular Anda. Jika terdeteksi lebih awal, langkah-langkah pencegahan –mulai dari perbaikan gaya hidup hingga terapi medis– bisa dilakukan secepatnya sebelum peradangan merusak dinding arteri.

Kesimpulan

Peradangan kronis kerap menjadi \”aktor figuran\” yang jarang disadari, namun ternyata berperan besar dalam memperburuk kondisi kardiovaskular. Bukan hanya faktor-faktor \”klasik\” seperti rokok, obesitas, diabetes, dan stres yang menyulut api peradangan ini, tetapi juga penyakit autoimun (lupus, RA, IBD) serta infeksi kronis (periodontal, H. pylori, TBC).

Kabar baiknya, peradangan kronis bisa dikelola. Penerapan gaya hidup sehat (diet antiinflamasi, olahraga moderat, tidur cukup, mengontrol stres, berhenti merokok) merupakan fondasi utama. Bagi penderita autoimun atau infeksi kronis, terapi tepat waktu dapat memadamkan sumber utama peradangan, sehingga mengurangi dampaknya pada jantung. Selalu ingat, upaya pencegahan jauh lebih sederhana dan murah dibanding mengobati komplikasi penyakit jantung yang sudah terlanjur parah. Berikan jantung Anda kesempatan terbaik untuk tetap sehat, dimulai dari mengatasi \”api dalam sekam\” bernama peradangan kronis.

(Dr. Erta Priadi Wirawijaya, FIHA. Departemen Informasi & Komunikasi PERKI)

 

Referensi

  1. Ridker PM. (2019). Inflammation, Atherosclerosis, and Cardiovascular Risk: An Epidemiologic View. Blood Coagulation & Fibrinolysis, 30(3): 237-241.
  2. Hansson GK. (2005). Inflammation, Atherosclerosis, and Coronary Artery Disease. New England Journal of Medicine, 352: 1685-1695.
  3. Ronderos D, Jiandani N, DeVerna J, Silver RM. (2021). Cardiovascular Manifestations of Autoimmune Disease. Current Cardiology Reports, 23(6): 56.
  4. World Health Organization (WHO). (2023). Global Tuberculosis Report.
  5. American Heart Association. (2023). Inflammation and Heart Disease. Diakses melalui www.heart.org.

 


303a924d000a1c59cbe1893c9ca0d68f-1200x727.jpg

November 4, 2025 ArticleNews

Kalau bicara soal penyebab kematian perempuan, banyak yang langsung mikirnya: kanker. Atau kalau yang agak lebay –\”mati karena patah hati, dok!\” Tapi faktanya? Bukan. Pembunuh nomor satu perempuan di dunia adalah penyakit jantung. Iya, serius. Bukan kanker, bukan mantan, tapi jantung.

Secara global, lebih dari 8 juta perempuan meninggal tiap tahun karena penyakit ini. Di Indonesia? Nggak kalah menyeramkan. Banyak banget pasien perempuan yang datang konsultasi dengan kondisi jantungnya sudah rusak parah—dan parahnya lagi, sering telat ketahuan.

Kenapa bisa begitu? Karena gejala penyakit jantung pada perempuan itu sering nggak khas, nggak dramatis kayak sinetron. Kalau laki-laki kena serangan jantung biasanya dadanya nyeri banget, menjalar ke lengan kiri, terus langsung drama di IG story. Tapi kalau perempuan? Gejalanya bisa cuma lelah, pusing, mual, nyeri perut, atau sesak yang dikira \”cuma kecapekan karena begadang abis bantuin ngurus Ospek anak\”.

Sayangnya, bukan cuma pasiennya yang nggak ngeh. Tenaga medis juga kadang kecolongan. Perempuan datang dengan keluhan nyeri ulu hati, keringat bercucuran membasahi baju, seperti abis maraton 30 km, pas ke dokter, tanpa diperiksa EKG dokternya bilang, \”Lambung kali ya, makan apa tadi pagi?\” Padahal jantungnya sudah minta tolong dari seminggu yang lalu.

Belum lagi faktor hormonal. Sebelum menopause, hormon estrogen itu ibarat bodyguard-nya jantung. Tapi begitu masuk masa menopause, hormon itu ‘pensiun’, dan risiko penyakit jantung langsung melambung kayak harga cabai pas Lebaran.

Lalu gaya hidup? Waduh. Jangan ditanya. Banyak yang makanannya boba, gorengan, dan nasi uduk, tapi olahraganya jalan dari ruang tamu ke kulkas. Belum lagi sekarang, lagi senam jari scrolling TikTok, eh lihat konten makanan martabak Uenak, langsung pesan gojek. Tidurnya mepet, stresnya mepet, kolesterolnya longgar. Kombinasi maut.

Yang bikin miris, banyak perempuan yang sudah punya faktor risiko –hipertensi, diabetes, kolesterol, stres rumah tangga level Jalan-jalan ke Dufan disiang hari– tapi jarang yang rutin periksa jantung. Karena mindset-nya masih \”Ah saya baik-baik saja kok, cuma masuk angin doang ini mah.\”

Masuk angin kok sampai EKG-nya berantakan.

Sering saya temui pasien perempuan datang ke IGD dengan gejala ringan, padahal jantungnya sudah sekarat. Dan ketika sudah telanjur rusak, pemulihannya itu tidak mudah. Bukan cuma nyawa yang terancam, tapi kualitas hidupnya juga turun drastis.

Jadi buat kalian para perempuan, kalau udah mulai muncul gejala seperti lemas terus-terusan, napas pendek, nyeri ulu hati, atau gampang capek… jangan abaikan! Jangan bilang, \”Ah saya kan masih muda.\” Serangan jantung itu bukan lihat umur, tapi lihat gaya hidup dan faktor risiko. Mau usianya masih 30-an, tapi kalau tiap hari makan gorengan sambil marah-marah ke suami, tetap aja bisa kena.

Dan tolong, kalau ada gejala mencurigakan, jangan ditahan karena mikir cucian belum dilipet atau anak belum makan. Cucian bisa nunggu. Tapi jantung yang kolaps? Nggak akan nunggu.

Jadi mulai sekarang, ayo kalian lebih perhatian sama jantung sendiri. Jangan cuma perhatiin skincare dan serum glowing. Karena apa gunanya wajah glowing kalau jantungnya gelap?

Kalau kalian butuh pemeriksaan atau pengen tahu lebih lanjut soal kesehatan jantung perempuan, Silahkan hubungi Dokter Jantung kalian, untuk ngobrol, edukasi, dan tentu saja… periksa jantung, bukan periksa mantan.*

 

(Dr. Erta Priadi Wirawijaya, FIHA)


c85edfb12f026c699949b4dc03253a70.jpg

November 4, 2025 ArticleNews

Halo, dengan dr. Erta disini. Hari ini saya ingin berbagi kisah nyata… yang seperti cerita misteri. Bukan misteri pembunuhan, tapi misteri kenapa jantung seseorang bisa rusak berat –tanpa orangnya merasa ada yang salah.

Pasien saya ini, usianya baru 30-an. Masih muda, masih kuat makan tiga piring nasi uduk plus ayam goreng 3, plus tahu tempe dan telor dadar. Awalnya beliau dirawat di oleh sejawat dokter spesialis penyakit dalam karena demam, kemungkinan ada infeksi. Tapi kemudian, dokter penanggung jawab mengkonsultasikan pasien tersebut karena temuan EKG abnormal dan jantung bengkak pada ronsen dada.

Hasil EKG-nya –menunjukkan tanda yang tidak biasa. Ada gelombang Q patologis dari V1 sampai V4. Buat yang belum tahu: itu tanda bahwa jantung pernah mengalami kerusakan akibat serangan jantung. Infark miokard lama. Tapi anehnya, pasien ini nggak pernah merasakan pernah mengalaminya.

Dokter IPD-nya bilang, \”Dok, ini ada kardiomegali (jantung membesar) di ronsen dada, EKG nya seperti OMI (infark miokard lama), tapi katanya ngga ada gejala. Tolong di evaluasi apa ada kelainan jantung?\”

Jadi pasiennya langsung saya periksa. Tanya. Gali. Di Investigasi seperti detektif.

\”Pak, apa pernah sesak nafas?\”

\”Nggak, dok.\”

\”Kalau naik tangga 1 lantai apa kuat?\”

\”Ngga pernah dicoba dok, saya memilih naik lift saja\”

\”Kalau jalan jauh gimana? Apa ada kendala kalau jalan 1 km?\”

\”Kalau sejauh itu saya memilih naik motor saja dok\”

Ternyata, si Bapak ini memang nggak pernah aktivitas berat. Rumahnya satu lantai. Nggak pernah naik tangga. Di kantor naik lift. Kalau agak jauh naik motor Jadi wajar saja kalau nggak pernah merasa sesak –karena jantungnya memang nggak pernah ditantang untuk kerja keras. Hal ini sering terjadi pada pasien lansia, ada masalah jantung, tapi tidak ada keluhan karena memang aktivitas fisiknya sehari hari tidak banyak.

Terus saya tanya, \”Pernah nyeri dada?\”

\”Enggak, dok.\”

Tapi saya nggak berhenti di situ. Saya lanjutkan lagi interogasinya.

\”Apa punggungnya pernah sakit?\”

\”Oh iya, sering. Tapi dikerok istri juga sembuh.\”

\”Apa pernah mendadak keringatan sampai baju nya basah kuyup?\”

\”Pernah dok, cukup sering itu. Saya pikir cuma masuk angin saja.\”

Nah. Di sinilah petunjuk penting muncul. Ini bukan masuk angin biasa. Ini gejala serangan jantung yang tidak khas. Dan ini bisa terjadi –terutama pada empat kelompok: diabetesi, lansia, perempuan, dan… obesitas. Dan pasien saya ini? Berat badannya 120 kilogram, tingginya 160 cm. Indeks masa tubuhnya sekitar 46.8. Itu bukan gemuk biasa, itu obesitas morbid. Berat badan idealnya harusnya di kisaran 50-65 kg. Jadi dia kelebihan berat hampir satu orang dewasa.

Saya korek lagi lebih dalam.

\”Kalau pagi suka pusing nggak?\”

\”Iya, sering.\”

\”Kalau siang bawaannya ngantuk terus?\”

\”Iya, itu saya banget.\”

Kecurigaan saya makin kuat: ada obstructive sleep apnea. Gangguan tidur di mana saluran napas menutup saat tidur karena timbunan lemak di leher dan perut. Akibatnya oksigen tidak bisa masuk ke paru-paru sehingga Jantung harus kerja keras sepanjang malam karena saturasi oksigen naik turun kayak roller coaster.

Belum selesai, saya tanya:

\”Pak, giginya ada yang bolong?\”

\”Ada beberapa dok. Udah lama, tapi ngga sakit kok dok.\”

Tanda tanya besar berubah jadi tanda seru. Obesitas, sleep apnea, peradangan kronis dari gigi yang rusak, dan… satu hal terakhir.

\”Bapak merokok?\”

\”Iya.\”

BOOM.

Lengkap sudah jawaban kenapa jantungnya bermasalah. Obesitas. Gigi berlubang. Kualitas Tidur buruk karena Sleep Apnea. Aktivitas minim. Merokok. Sangat mungkin jantungnya bermasalah walau usianya masih muda.

Saya lanjutkan pemeriksaan jantung pakai echocardiography. Dan benar saja: jantungnya membesar, fraksi ejeksi hanya 25%. Padahal normal itu sekitar 55-70%. Artinya, jantungnya sekarang cuma bekerja setengah dari kapasitas normal. Bayangkan mobil yang harus naik tanjakan tapi mesinnya cuma nyala satu silinder.

Pasien ini tak pernah sadar dia punya masalah jantung. Tapi itu bukan karena jantungnya baik-baik saja. Itu karena dia nggak pernah kasih kesempatan jantungnya buat menunjukkan kelemahan. Aktivitasnya minim. Tantangannya kecil. Tapi… ancamannya? Sangat berbahaya. Pernah lihat mobil yang kelebihan beban naik disebuah tanjakan? Kalau ngga kuat bisa-bisa mobilnya mendadak mundur, atau bahkan mogok. Seperti itulah kurang lebihnya kondisi jantung bapak ini.

Saya sampaikan dengan serius, tapi juga hati-hati:

\”Pak mohon maaf, ini jantungnya nggak baik-baik saja. Fungsi jantung nya sudah terganggu, sudah lemah. Perlu dibantu dengan obat dan perubahan gaya hidup. Bapak harus jaga pola makan, harus diet. Dan perlahan berat badan nya harus turus. Target bisa turun 60 kg ya. Pelan pelan. Nanti akan dibantu oleh tim ahli gizi kami soal makanan. Bapak juga harus berhenti merokok ya. Demi jantung nya pak.\”

Dan kalian tahu, cerita seperti ini bukan sekali dua kali saya temui. Kadang keluhan yang dianggap sepele seperti punggung pegal, sering keringatan, pusing di pagi hari, ternyata adalah kode rahasia dari tubuh yang sedang sekarat perlahan.

Jadi jangan tunggu jantungnya teriak dulu. Karena kalau dia sudah teriak… kadang kita sudah terlambat menolongnya.

Kalaukalian merasa punya faktor risiko –entah berat badan berlebih, suka ngorok,gigi bolong bertahun-tahun, atau punya gaya hidup mirip patung –jangan tunggu gejalanya datang. Periksa jantung kalian. Hari ini. Bukan besok. Bukan nanti.

Dr.Erta Priadi Wirawijaya, FIHA)

 


045b0f88dfaa55ae37522a52ef7d2667-1200x727.jpg

November 4, 2025 ArticleNews

Halo semuanya, saya dr. Erta, Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah.

Kali ini kita akan membahas topik\r\nyang sering dianggap sepele padahal dampaknya bisa sangat serius ‘ngorok’.Banyak dari kita mungkin menganggap ngorok itu hal yang biasa. \”Ah, cuma suara\r\ntidur aja, dok.\” Tapi tunggu dulu. Tidak semua ngorok itu wajar. Ada jenis ngorok yang bisa menjadi pertanda gangguan tidur serius yang disebut Obstructive Sleep Apnea (OSA), yang jika\r\ndibiarkan bisa meningkatkan risiko tekanan darah tinggi, stroke, hingga\r\nserangan jantung.

OSA adalah kondisi di mana saluran napas bagian atas menyempit atau menutup berulang kali saat tidur, sehingga pernapasan berhenti selama beberapa detik –bahkan bisa lebih dari satu menit– sebelum akhirnya otak \”membangunkan\” tubuh untuk bernapas lagi. Masalahnya, kejadian ini bisa terjadi puluhan hingga ratusan kali setiap malam tanpa disadari oleh penderitanya. Yang sering sadar justru pasangannya, karena harus mendengarkan suara ngorok keras yang tiba-tiba berhenti, lalu terdengar seperti tersedak, baru lanjut ngorok lagi.

Lalu bagaimana cara membedakan mana ngorok yang masih tergolong \”biasa\” dan mana yang perlu segera diperiksa lebih lanjut? Untungnya, ada sistem sederhana yang bisa digunakan sebagai alat skrining awal, yaitu skor STOP-BANG. ni adalah akronim dari delapan pertanyaan sederhana yang bisa Anda jawab sendiri di rumah:

1. S (Snoring): Apakah Anda sering ngorok dengan suara keras?

2. T (Tired): Apakah Anda sering merasa mengantuk di siang hari, atau kelelahan meskipun merasa tidur cukup lama?

3. O (Observed): Apakah ada orang yang pernah melihat Anda berhenti bernapas saat tidur?

4. P (Pressure): Apakah Anda memiliki tekanan darah tinggi atau sedang dalam pengobatan hipertensi?

5. B (BMI): Apakah indeks massa tubuh Anda lebih dari 35?

6. A (Age): Apakah usia Anda lebih dari 50 tahun?

7. N (Neck): Apakah lingkar leher Anda lebih dari 40 cm? (ukur dibagian tengah leher, bukan di bawah dagu)

8. G (Gender): Apakah Anda laki-laki?

Jika Anda menjawab \”ya\” pada tiga atau lebih dari delapan poin di atas, maka Anda berisiko tinggi mengalami OSA dan sebaiknya segera konsultasi ke dokter atau melakukan pemeriksaan lanjutan seperti sleep study.

Bagaimana kita bisa mengenali pasangan kita berhenti napas saat tidur?

Biasanya, tanda paling mudah dikenali adalah saat ngoroknya tiba-tiba berhenti –hening selama beberapa detik– lalu disusul dengan suara seperti tercekik, mendengus keras, atau menarik napas panjang secara mendadak. Ini bisa terjadi berulang kali sepanjang malam. Pasangan yang tidur di sebelah sering kali menjadi saksi pertama dari pola ini. Jika Anda mendengar jeda napas yang berlangsung lebih dari 10 detik secara berulang, apalagi diikuti gelisah, keringat dingin, atau mengorok keras kembali setelah hening, itu tanda kuat bahwa orang tersebut mungkin mengalami sleep apnea dan sebaiknya diperiksa lebih lanjut.

Kenapa ini penting?

Karena OSA tidak hanya membuat tidur tidak nyenyak, tapi juga menyebabkan penurunan oksigen dalam darah secara berulang. Ini memberi beban besar pada jantung, bisa memicu gangguan irama jantung, memperburuk hipertensi, hingga meningkatkan risiko serangan jantung mendadak saat tidur. Saya beberapa kali menangani pasien jantung yang awalnya datang hanya dengan keluhan gampang lelah dan tekanan darah tinggi yang sulit dikontrol. Setelah ditelusuri, ternyata penyebab utamanya adalah OSA yang tidak pernah terdeteksi.

Jadi, kalau Anda sering ngorok keras, merasa capek meski sudah tidur 8 jam, atau pasangan Anda bilang Anda \”berhenti napas\” saat tidur, jangan abaikan. Gunakan skor STOP-BANG sebagai panduan awal. Karena semakin cepat OSA dikenali, semakin cepat pula penanganan yang bisa dilakukan–baik dengan perubahan gaya hidup, penggunaan alat bantu napas seperti CPAP, atau tindakan medis lainnya.

Dan satu hal lagi: jangan anggap ngorok itu cuma soal suara. Kadang suara itu adalah peringatan dari tubuh bahwa ada bahaya yang sedang mengintai diam-diam. Yuk, mulai lebih peduli dengan kualitas tidur kita. Karena tidur yang sehat, adalah pondasi jantung yang kuat. Bagikan tulisan ini pada orang terdekat Anda –terutama yang hobi ngorok– siapa tahu Anda sedang menyelamatkan nyawa mereka.

 

(dr.Erta Priadi Wirawijaya Sp.JP, Kardiolog)

 


20251104-113156.jpeg

November 4, 2025 ArticleNews
Mungkin banyak, di antara pasien jantung yang saat konsultasi ke dokter disarankan untuk mendapatkan vaksinasi influenza. Kalau dipikir-pikir, flu kan tampaknya penyakit ringan, masa iya pasien jantung harus repot-repot vaksin juga? Nah ternyata, ada alasan ilmiah yang kuat di balik rekomendasi ini.

Manfaat Vaksinasi Influenza bagi Pasien Jantung

Sejumlah penelitian besar telah menemukan bahwa vaksinasi influenza sangat bermanfaat bagi pasien dengan penyakit jantung. Salah satu studi meta-analisis yang dipublikasikan oleh Udell dkk. pada 2013 menunjukkan bahwa vaksinasi influenza mengurangi risiko kejadian kardiovaskular utama hingga 36% pada pasien yang memiliki penyakit jantung koroner. Hasil ini terutama terasa pada pasien yang baru saja mengalami serangan jantung, dimana vaksinasi bisa menurunkan risiko kejadian kardiovaskular sampai 45% dalam setahun pertama setelah vaksinasi.
Selain itu, penelitian oleh Phrommintikul et al. pada tahun 2011 juga mengungkap bahwa vaksinasi influenza berperan dalam mengurangi kematian akibat penyakit kardiovaskular pada pasien dengan sindrom koroner akut. Dalam 12 bulan pertama setelah vaksinasi, risiko kematian akibat serangan jantung turun hingga baru-baru ini,studi observasional di Inggris pada tahun 2023 melaporkan bahwa risiko kejadian kardiovaskular akut pertama menurun dalam 28 hari setelah vaksinasi influenza dan tetap lebih rendah hingga 120 hari.
Ini menunjukkan bahwa vaksinasi bisa menjadi perlindungan yang signifikan terhadap kejadian jantung\r\npada pasien dengan dan tanpa risiko kardiovaskular tinggi (Davidson et al., 2023).

c9513c32c96865a86993b3fc363b3f98-1200x727.jpg

October 9, 2025 News

Halo semuanya, kali ini saya ingin membahas sesuatu yang kelihatannya sepele, tapi pengaruhnya luar biasa besar terhadap kesehatan jantung, yaitu: minuman yang kita konsumsi setiap hari. Seringkali kita tidak sadar, bahwa penyakit jantung tidak hanya dipicu dari makanan yang kita kunyah, tapi juga dari apa yang kita teguk…


e00d22a63edc468552b14e1ada7678ca-1200x900.jpeg

October 8, 2025 News

 

Pada hari Rabu (9/7/2025) tepat pukul 15.00 WIB telah diadakan audiensi dengan Yayasan Jantung Indonesia (YJI) dengan agenda rapat potensi kolaborasi program kerja PERKI-YJI ke depan dan kolaborasi acara World Heart Day (WHD) 2025.

Telah disepakati WHD tahun ini akan menggandeng YJI Pusat. Tidak hanya di level Pusat, tapi juga di level wilayah/daerah. Kolaborasi ini akan segera ditindaklanjuti oleh panitia pelaksana WHD dari kedua pihak. Terkait program kerja PERKI-YJI ke depan, YJI akan berkolaborasi dengan PERKI pada bidang pelatihan BHD dan program skrining RHD di beberapa kota yang akan segera di-launching tahun ini.

Semoga dari pertemuan ini, hubungan baik PERKI dan YJI sebagai Empat Pilar Kardiologi dapat lebih terjalin erat dan semakin memajukan pelayanan di bidang kardiologi.*