303a924d000a1c59cbe1893c9ca0d68f-1200x727.jpg

November 4, 2025 ArticleNews

Kalau bicara soal penyebab kematian perempuan, banyak yang langsung mikirnya: kanker. Atau kalau yang agak lebay –\”mati karena patah hati, dok!\” Tapi faktanya? Bukan. Pembunuh nomor satu perempuan di dunia adalah penyakit jantung. Iya, serius. Bukan kanker, bukan mantan, tapi jantung.

Secara global, lebih dari 8 juta perempuan meninggal tiap tahun karena penyakit ini. Di Indonesia? Nggak kalah menyeramkan. Banyak banget pasien perempuan yang datang konsultasi dengan kondisi jantungnya sudah rusak parah—dan parahnya lagi, sering telat ketahuan.

Kenapa bisa begitu? Karena gejala penyakit jantung pada perempuan itu sering nggak khas, nggak dramatis kayak sinetron. Kalau laki-laki kena serangan jantung biasanya dadanya nyeri banget, menjalar ke lengan kiri, terus langsung drama di IG story. Tapi kalau perempuan? Gejalanya bisa cuma lelah, pusing, mual, nyeri perut, atau sesak yang dikira \”cuma kecapekan karena begadang abis bantuin ngurus Ospek anak\”.

Sayangnya, bukan cuma pasiennya yang nggak ngeh. Tenaga medis juga kadang kecolongan. Perempuan datang dengan keluhan nyeri ulu hati, keringat bercucuran membasahi baju, seperti abis maraton 30 km, pas ke dokter, tanpa diperiksa EKG dokternya bilang, \”Lambung kali ya, makan apa tadi pagi?\” Padahal jantungnya sudah minta tolong dari seminggu yang lalu.

Belum lagi faktor hormonal. Sebelum menopause, hormon estrogen itu ibarat bodyguard-nya jantung. Tapi begitu masuk masa menopause, hormon itu ‘pensiun’, dan risiko penyakit jantung langsung melambung kayak harga cabai pas Lebaran.

Lalu gaya hidup? Waduh. Jangan ditanya. Banyak yang makanannya boba, gorengan, dan nasi uduk, tapi olahraganya jalan dari ruang tamu ke kulkas. Belum lagi sekarang, lagi senam jari scrolling TikTok, eh lihat konten makanan martabak Uenak, langsung pesan gojek. Tidurnya mepet, stresnya mepet, kolesterolnya longgar. Kombinasi maut.

Yang bikin miris, banyak perempuan yang sudah punya faktor risiko –hipertensi, diabetes, kolesterol, stres rumah tangga level Jalan-jalan ke Dufan disiang hari– tapi jarang yang rutin periksa jantung. Karena mindset-nya masih \”Ah saya baik-baik saja kok, cuma masuk angin doang ini mah.\”

Masuk angin kok sampai EKG-nya berantakan.

Sering saya temui pasien perempuan datang ke IGD dengan gejala ringan, padahal jantungnya sudah sekarat. Dan ketika sudah telanjur rusak, pemulihannya itu tidak mudah. Bukan cuma nyawa yang terancam, tapi kualitas hidupnya juga turun drastis.

Jadi buat kalian para perempuan, kalau udah mulai muncul gejala seperti lemas terus-terusan, napas pendek, nyeri ulu hati, atau gampang capek… jangan abaikan! Jangan bilang, \”Ah saya kan masih muda.\” Serangan jantung itu bukan lihat umur, tapi lihat gaya hidup dan faktor risiko. Mau usianya masih 30-an, tapi kalau tiap hari makan gorengan sambil marah-marah ke suami, tetap aja bisa kena.

Dan tolong, kalau ada gejala mencurigakan, jangan ditahan karena mikir cucian belum dilipet atau anak belum makan. Cucian bisa nunggu. Tapi jantung yang kolaps? Nggak akan nunggu.

Jadi mulai sekarang, ayo kalian lebih perhatian sama jantung sendiri. Jangan cuma perhatiin skincare dan serum glowing. Karena apa gunanya wajah glowing kalau jantungnya gelap?

Kalau kalian butuh pemeriksaan atau pengen tahu lebih lanjut soal kesehatan jantung perempuan, Silahkan hubungi Dokter Jantung kalian, untuk ngobrol, edukasi, dan tentu saja… periksa jantung, bukan periksa mantan.*

 

(Dr. Erta Priadi Wirawijaya, FIHA)


c85edfb12f026c699949b4dc03253a70.jpg

November 4, 2025 ArticleNews

Halo, dengan dr. Erta disini. Hari ini saya ingin berbagi kisah nyata… yang seperti cerita misteri. Bukan misteri pembunuhan, tapi misteri kenapa jantung seseorang bisa rusak berat –tanpa orangnya merasa ada yang salah.

Pasien saya ini, usianya baru 30-an. Masih muda, masih kuat makan tiga piring nasi uduk plus ayam goreng 3, plus tahu tempe dan telor dadar. Awalnya beliau dirawat di oleh sejawat dokter spesialis penyakit dalam karena demam, kemungkinan ada infeksi. Tapi kemudian, dokter penanggung jawab mengkonsultasikan pasien tersebut karena temuan EKG abnormal dan jantung bengkak pada ronsen dada.

Hasil EKG-nya –menunjukkan tanda yang tidak biasa. Ada gelombang Q patologis dari V1 sampai V4. Buat yang belum tahu: itu tanda bahwa jantung pernah mengalami kerusakan akibat serangan jantung. Infark miokard lama. Tapi anehnya, pasien ini nggak pernah merasakan pernah mengalaminya.

Dokter IPD-nya bilang, \”Dok, ini ada kardiomegali (jantung membesar) di ronsen dada, EKG nya seperti OMI (infark miokard lama), tapi katanya ngga ada gejala. Tolong di evaluasi apa ada kelainan jantung?\”

Jadi pasiennya langsung saya periksa. Tanya. Gali. Di Investigasi seperti detektif.

\”Pak, apa pernah sesak nafas?\”

\”Nggak, dok.\”

\”Kalau naik tangga 1 lantai apa kuat?\”

\”Ngga pernah dicoba dok, saya memilih naik lift saja\”

\”Kalau jalan jauh gimana? Apa ada kendala kalau jalan 1 km?\”

\”Kalau sejauh itu saya memilih naik motor saja dok\”

Ternyata, si Bapak ini memang nggak pernah aktivitas berat. Rumahnya satu lantai. Nggak pernah naik tangga. Di kantor naik lift. Kalau agak jauh naik motor Jadi wajar saja kalau nggak pernah merasa sesak –karena jantungnya memang nggak pernah ditantang untuk kerja keras. Hal ini sering terjadi pada pasien lansia, ada masalah jantung, tapi tidak ada keluhan karena memang aktivitas fisiknya sehari hari tidak banyak.

Terus saya tanya, \”Pernah nyeri dada?\”

\”Enggak, dok.\”

Tapi saya nggak berhenti di situ. Saya lanjutkan lagi interogasinya.

\”Apa punggungnya pernah sakit?\”

\”Oh iya, sering. Tapi dikerok istri juga sembuh.\”

\”Apa pernah mendadak keringatan sampai baju nya basah kuyup?\”

\”Pernah dok, cukup sering itu. Saya pikir cuma masuk angin saja.\”

Nah. Di sinilah petunjuk penting muncul. Ini bukan masuk angin biasa. Ini gejala serangan jantung yang tidak khas. Dan ini bisa terjadi –terutama pada empat kelompok: diabetesi, lansia, perempuan, dan… obesitas. Dan pasien saya ini? Berat badannya 120 kilogram, tingginya 160 cm. Indeks masa tubuhnya sekitar 46.8. Itu bukan gemuk biasa, itu obesitas morbid. Berat badan idealnya harusnya di kisaran 50-65 kg. Jadi dia kelebihan berat hampir satu orang dewasa.

Saya korek lagi lebih dalam.

\”Kalau pagi suka pusing nggak?\”

\”Iya, sering.\”

\”Kalau siang bawaannya ngantuk terus?\”

\”Iya, itu saya banget.\”

Kecurigaan saya makin kuat: ada obstructive sleep apnea. Gangguan tidur di mana saluran napas menutup saat tidur karena timbunan lemak di leher dan perut. Akibatnya oksigen tidak bisa masuk ke paru-paru sehingga Jantung harus kerja keras sepanjang malam karena saturasi oksigen naik turun kayak roller coaster.

Belum selesai, saya tanya:

\”Pak, giginya ada yang bolong?\”

\”Ada beberapa dok. Udah lama, tapi ngga sakit kok dok.\”

Tanda tanya besar berubah jadi tanda seru. Obesitas, sleep apnea, peradangan kronis dari gigi yang rusak, dan… satu hal terakhir.

\”Bapak merokok?\”

\”Iya.\”

BOOM.

Lengkap sudah jawaban kenapa jantungnya bermasalah. Obesitas. Gigi berlubang. Kualitas Tidur buruk karena Sleep Apnea. Aktivitas minim. Merokok. Sangat mungkin jantungnya bermasalah walau usianya masih muda.

Saya lanjutkan pemeriksaan jantung pakai echocardiography. Dan benar saja: jantungnya membesar, fraksi ejeksi hanya 25%. Padahal normal itu sekitar 55-70%. Artinya, jantungnya sekarang cuma bekerja setengah dari kapasitas normal. Bayangkan mobil yang harus naik tanjakan tapi mesinnya cuma nyala satu silinder.

Pasien ini tak pernah sadar dia punya masalah jantung. Tapi itu bukan karena jantungnya baik-baik saja. Itu karena dia nggak pernah kasih kesempatan jantungnya buat menunjukkan kelemahan. Aktivitasnya minim. Tantangannya kecil. Tapi… ancamannya? Sangat berbahaya. Pernah lihat mobil yang kelebihan beban naik disebuah tanjakan? Kalau ngga kuat bisa-bisa mobilnya mendadak mundur, atau bahkan mogok. Seperti itulah kurang lebihnya kondisi jantung bapak ini.

Saya sampaikan dengan serius, tapi juga hati-hati:

\”Pak mohon maaf, ini jantungnya nggak baik-baik saja. Fungsi jantung nya sudah terganggu, sudah lemah. Perlu dibantu dengan obat dan perubahan gaya hidup. Bapak harus jaga pola makan, harus diet. Dan perlahan berat badan nya harus turus. Target bisa turun 60 kg ya. Pelan pelan. Nanti akan dibantu oleh tim ahli gizi kami soal makanan. Bapak juga harus berhenti merokok ya. Demi jantung nya pak.\”

Dan kalian tahu, cerita seperti ini bukan sekali dua kali saya temui. Kadang keluhan yang dianggap sepele seperti punggung pegal, sering keringatan, pusing di pagi hari, ternyata adalah kode rahasia dari tubuh yang sedang sekarat perlahan.

Jadi jangan tunggu jantungnya teriak dulu. Karena kalau dia sudah teriak… kadang kita sudah terlambat menolongnya.

Kalaukalian merasa punya faktor risiko –entah berat badan berlebih, suka ngorok,gigi bolong bertahun-tahun, atau punya gaya hidup mirip patung –jangan tunggu gejalanya datang. Periksa jantung kalian. Hari ini. Bukan besok. Bukan nanti.

Dr.Erta Priadi Wirawijaya, FIHA)

 


045b0f88dfaa55ae37522a52ef7d2667-1200x727.jpg

November 4, 2025 ArticleNews

Halo semuanya, saya dr. Erta, Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah.

Kali ini kita akan membahas topik\r\nyang sering dianggap sepele padahal dampaknya bisa sangat serius ‘ngorok’.Banyak dari kita mungkin menganggap ngorok itu hal yang biasa. \”Ah, cuma suara\r\ntidur aja, dok.\” Tapi tunggu dulu. Tidak semua ngorok itu wajar. Ada jenis ngorok yang bisa menjadi pertanda gangguan tidur serius yang disebut Obstructive Sleep Apnea (OSA), yang jika\r\ndibiarkan bisa meningkatkan risiko tekanan darah tinggi, stroke, hingga\r\nserangan jantung.

OSA adalah kondisi di mana saluran napas bagian atas menyempit atau menutup berulang kali saat tidur, sehingga pernapasan berhenti selama beberapa detik –bahkan bisa lebih dari satu menit– sebelum akhirnya otak \”membangunkan\” tubuh untuk bernapas lagi. Masalahnya, kejadian ini bisa terjadi puluhan hingga ratusan kali setiap malam tanpa disadari oleh penderitanya. Yang sering sadar justru pasangannya, karena harus mendengarkan suara ngorok keras yang tiba-tiba berhenti, lalu terdengar seperti tersedak, baru lanjut ngorok lagi.

Lalu bagaimana cara membedakan mana ngorok yang masih tergolong \”biasa\” dan mana yang perlu segera diperiksa lebih lanjut? Untungnya, ada sistem sederhana yang bisa digunakan sebagai alat skrining awal, yaitu skor STOP-BANG. ni adalah akronim dari delapan pertanyaan sederhana yang bisa Anda jawab sendiri di rumah:

1. S (Snoring): Apakah Anda sering ngorok dengan suara keras?

2. T (Tired): Apakah Anda sering merasa mengantuk di siang hari, atau kelelahan meskipun merasa tidur cukup lama?

3. O (Observed): Apakah ada orang yang pernah melihat Anda berhenti bernapas saat tidur?

4. P (Pressure): Apakah Anda memiliki tekanan darah tinggi atau sedang dalam pengobatan hipertensi?

5. B (BMI): Apakah indeks massa tubuh Anda lebih dari 35?

6. A (Age): Apakah usia Anda lebih dari 50 tahun?

7. N (Neck): Apakah lingkar leher Anda lebih dari 40 cm? (ukur dibagian tengah leher, bukan di bawah dagu)

8. G (Gender): Apakah Anda laki-laki?

Jika Anda menjawab \”ya\” pada tiga atau lebih dari delapan poin di atas, maka Anda berisiko tinggi mengalami OSA dan sebaiknya segera konsultasi ke dokter atau melakukan pemeriksaan lanjutan seperti sleep study.

Bagaimana kita bisa mengenali pasangan kita berhenti napas saat tidur?

Biasanya, tanda paling mudah dikenali adalah saat ngoroknya tiba-tiba berhenti –hening selama beberapa detik– lalu disusul dengan suara seperti tercekik, mendengus keras, atau menarik napas panjang secara mendadak. Ini bisa terjadi berulang kali sepanjang malam. Pasangan yang tidur di sebelah sering kali menjadi saksi pertama dari pola ini. Jika Anda mendengar jeda napas yang berlangsung lebih dari 10 detik secara berulang, apalagi diikuti gelisah, keringat dingin, atau mengorok keras kembali setelah hening, itu tanda kuat bahwa orang tersebut mungkin mengalami sleep apnea dan sebaiknya diperiksa lebih lanjut.

Kenapa ini penting?

Karena OSA tidak hanya membuat tidur tidak nyenyak, tapi juga menyebabkan penurunan oksigen dalam darah secara berulang. Ini memberi beban besar pada jantung, bisa memicu gangguan irama jantung, memperburuk hipertensi, hingga meningkatkan risiko serangan jantung mendadak saat tidur. Saya beberapa kali menangani pasien jantung yang awalnya datang hanya dengan keluhan gampang lelah dan tekanan darah tinggi yang sulit dikontrol. Setelah ditelusuri, ternyata penyebab utamanya adalah OSA yang tidak pernah terdeteksi.

Jadi, kalau Anda sering ngorok keras, merasa capek meski sudah tidur 8 jam, atau pasangan Anda bilang Anda \”berhenti napas\” saat tidur, jangan abaikan. Gunakan skor STOP-BANG sebagai panduan awal. Karena semakin cepat OSA dikenali, semakin cepat pula penanganan yang bisa dilakukan–baik dengan perubahan gaya hidup, penggunaan alat bantu napas seperti CPAP, atau tindakan medis lainnya.

Dan satu hal lagi: jangan anggap ngorok itu cuma soal suara. Kadang suara itu adalah peringatan dari tubuh bahwa ada bahaya yang sedang mengintai diam-diam. Yuk, mulai lebih peduli dengan kualitas tidur kita. Karena tidur yang sehat, adalah pondasi jantung yang kuat. Bagikan tulisan ini pada orang terdekat Anda –terutama yang hobi ngorok– siapa tahu Anda sedang menyelamatkan nyawa mereka.

 

(dr.Erta Priadi Wirawijaya Sp.JP, Kardiolog)

 


20251104-113156.jpeg

November 4, 2025 ArticleNews
Mungkin banyak, di antara pasien jantung yang saat konsultasi ke dokter disarankan untuk mendapatkan vaksinasi influenza. Kalau dipikir-pikir, flu kan tampaknya penyakit ringan, masa iya pasien jantung harus repot-repot vaksin juga? Nah ternyata, ada alasan ilmiah yang kuat di balik rekomendasi ini.

Manfaat Vaksinasi Influenza bagi Pasien Jantung

Sejumlah penelitian besar telah menemukan bahwa vaksinasi influenza sangat bermanfaat bagi pasien dengan penyakit jantung. Salah satu studi meta-analisis yang dipublikasikan oleh Udell dkk. pada 2013 menunjukkan bahwa vaksinasi influenza mengurangi risiko kejadian kardiovaskular utama hingga 36% pada pasien yang memiliki penyakit jantung koroner. Hasil ini terutama terasa pada pasien yang baru saja mengalami serangan jantung, dimana vaksinasi bisa menurunkan risiko kejadian kardiovaskular sampai 45% dalam setahun pertama setelah vaksinasi.
Selain itu, penelitian oleh Phrommintikul et al. pada tahun 2011 juga mengungkap bahwa vaksinasi influenza berperan dalam mengurangi kematian akibat penyakit kardiovaskular pada pasien dengan sindrom koroner akut. Dalam 12 bulan pertama setelah vaksinasi, risiko kematian akibat serangan jantung turun hingga baru-baru ini,studi observasional di Inggris pada tahun 2023 melaporkan bahwa risiko kejadian kardiovaskular akut pertama menurun dalam 28 hari setelah vaksinasi influenza dan tetap lebih rendah hingga 120 hari.
Ini menunjukkan bahwa vaksinasi bisa menjadi perlindungan yang signifikan terhadap kejadian jantung\r\npada pasien dengan dan tanpa risiko kardiovaskular tinggi (Davidson et al., 2023).

1_Cover-Depan_Panduan-Kembali-Bekerja-Pada-Penyakit-Kardiovaskular_11zon.webp

November 3, 2025 Guidelines

Sinopsis :
Penyakit kardiovaskular (PKV) merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas global, dengan peningkatan kasus di Indonesia yang sering menyerang usia produktif. Evaluasi fungsional pasien oleh dokter jantung sangatlah krusial. Kembali bekerja setelah kejadian kardiovaskular akut terbukti meningkatkan kualitas hidup, sehingga keputusan ini perlu dipertimbangkan matang berdasarkan kapasitas fungsional pasien dan tuntutan pekerjaan.
Rehabilitasi jantung berperan penting dalam memulihkan kapasitas fungsional dan mempersingkat waktu kembali bekerja. Program ini terbukti efektif mengurangi risiko kematian jantung dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu, khususnya tim penyusun dari Kelompok Kerja Prevensi Rehabilitasi Kardiovaskular, Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Semoga buku ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu dan pelayanan kesehatan kardiovaskular di Indonesia, terutama dalam bidang prevensi dan rehabilitasi.